Sang Elang Itu Terbang Tinggi!

Penulis: Editor | Ditulis pada 03 Juli 2018 12:20 WIB | Diupdate pada 03 Juli 2018 12:46 WIB


1.Identitas Buku

Judul buku:Sang Elang Serangkai Kisah PerjuanganH. AS. Hanandjoeddin di Kancah

Revolusi Kemerdekaan RI

Penulis:Haril M. Andersen

Editor:Haris M. Andersen,H. Mohammad Qiram, Jaumat Dulhajah (Alm)

Penerbit:Yayasan Melati Tanjungpandan

Tahun terbit:2015

Jumlah halaman: xxx+654 halaman

Cetakan:Kedua, September 2015

ISBN:978-979-17175-3-3

2. Peresensi               : Eddy Jajang Jaya Atmaja

3. Pembuka Resensi

SETELAH Trilogi Laskar Pelangi meraih  sukses, tampaknya biografi  H. AS. Hanandjoeddin --  anak ‘jati’ Melayu Belitong, salah seorang pendiri AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia)   -- ini layak hadir di majelis pembaca Nusantara.  Terlebih khusus bagi  generasi muda Bangka Belitung.   Pasalnya, ada banyak tunjuk ajar penting yang  tersela di dalam  buku karya Haril M Andersen, setebal 654 halaman.

Berbekal hasil kerja keras mengumpulkan data selama sembilan tahun, bermula 2005 hingga 2014, Haril -- penulis biografi -- dengan mudah menemukan‘sudut’ (angle) tulisan.Pria kelahiran Kelapa Kampit 1973 ini pun sangat pandai memilih tema tulisan.

Hasilnya fragmen perjalanan hidup H. AS. Hanandjoeddin tergambar secara runut dan jelas. Mulai dari romantikamasa kanak-kanak Hanandjoeddin sebagai “Urang Darat” di ‘ume’ (ladang, sekaligus tempat tinggal) Mempiu, Dibawa Umaknya (panggilan untuk ibu kandung), Selamah (orangtua tunggal), ke Kampong Aik Sagak, Tanjungpandan, menjadi anak angkatHaji Hasyim --seorang ‘annemer’ atau pemborong rumah terkenal di Belitung; Belajar di Ambacht School -- sekolah teknik kolonial Belanda di Manggar;Pegawai Maskapai Timah GMB (Gameenchappelijke Minjbouwmaatschappij Billiton), Meninggalkan Belitong, Liku-liku Zaman Jepang, Terlibat dalam Pusaran Revolusi, Perang Gerilya Melawan Tentara Belanda, Mengganyang PKI dan hingga Mengharumkan nama AURI.

DENGAN ukuran panjang dan lebar: 21-14,5 cm,biografi “Sang Elang Serangkai Kisah PerjuanganH. AS. Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI”, selintas ‘mengerikan’ bagi pembaca pemula. Mengingat tebalnya 654 halaman.Apalagi kisah hidup mantan Bupati Belitong periode 1967-1972 ini ditulis dalam 88 bab. Sudahlah tentu untuk melahapnya perlu energi dan waktu yang cukup panjang.

Beban ini tampaknya disadari betul olehHaril (sang penulis), sejak awal. Maka itu ia menggunakan gaya penulisan ‘menggambarkan’(teknik ini kerap digunakan para jurnalis). Pilihan kata dan kalimat pun mudah dicerna.Maksudnya agar pembaca tidak jemu mengikuti alur cerita yang dikemas dalam buku setebal empat centimeter itu.

Usaha penulis tampaknya berhasil mencairkan keengganan pembaca menyelusuri lika-liku perjalanan hidup Hanandjoeddin.Baik tatkala di Belitong, Bandung maupun di Jawa Timur.

Dari sisi isi, biografi ini diawalidengan penulis melukiskansuasana alam semulajadiyang melingkupi lembah Mempiu tahun 1909.Mempiu itu sendiri sebuah kampung kecil berjarak sekitar 20 km dari Tanjungpandan, kota utama Pulau Belitong (nama ini kerap digunakan orang setempatketika menyebut Belitung). Mempiu berada di lintasan Jalan Tanjungpandan-Membalong. Di sinilah,tokoh biografi lahir: Hari Jum’at, 5 Agustus 1910, sekitar pukul 5.00 pagi.Bayi laki-laki itu diberi nama Hanandjoeddin oleh kedua orangtuanya: Mohammad Djoeddin bin Ali-Selamah binti Idris.

Meski mereka tinggal di pondok ladang,Selamah dan ayahnya, Idris (kakek Hanandjoeddin), sudah sejak awal berkeinginan menyekolahkan Hanandjoeddin.Tapi ada daya.Mereka tergolong warga tak mampu. Apalagi Selamah telah menjadi orangtua tunggal, setelah ditinggal suaminya, Mohammad Djoeddin, yang menikahlagi dengan wanita Kampung Ibul.

DRAMA mengharukan terjadi ketika Hanandjoeddin berusia sepuluh tahun. Ia dibujuk Selamah, ibunya, meninggalkan Mempiu untuk menetap di rumah Haji Hasyim, seorang pemborong (annemer) terkenal Belitung kala itu, di Tanjungpandan.

Mun kao ngerase ngasin kan kamek ne, kao harus diam di ruma Bang Hasyim,” begitu kata ibunya setengah memaksa.Hanandjoeddin tak kuasa membantah karena sudah kehendak ibu dan kakeknya (Bab 9,halaman 53).

Di rumah Haji Hasyim ini, Hanandjoeddin tumbuh menjadi remaja penuh disiplin, rajin, jujur dan bertanggungjawab.Ia diajari Ilmu Agama Islam dan berbisnis.Selain mengawasi tukang membuat kusen,setiap pagiHanandjoeddin menjajakan kue bikinan Aminah isteri Haji Hasyim.

SUATU hari karena ‘kebelet’ main bola, Hanan yang baru dua jam keliling kampung menjaja kue, pulang ke rumah.Haji Hasyimmarah karena menilai kurang giat berdagang.Kue tak satu potong pun laku. Spontan ia rebut tampah di kepala Hanan, lalu menumpahkannya ke kepala anak angkatnya. Kue kelepon itu pecah berhampuran.Seketika rambut dan muka hanan penuh air gula dan parutan kelapa (Bagian II Tekad Anak Peladang, hal 69).

Sejak kejadian itu Hanan giat menjajakan kue.Ia tak ingin mengecewakan orangtuanya. Bahwa kegemarannya main bola, itu ia lakukan usai menjajajakan kue.Sikap tegas Haji Hasyim sangat membantu melatih disiplin Hanan. Pak haji tak segan mencari Hanan di lapangan sepakbola, terutama bila masuk waktu sholat.

Sembahyang lima waktu itu wajib hukum’e. Usa nak sengaje kao tinggalek!,” begitu Haji Hasyim, mewanti-wanti (halaman 70).

BINTANG terang terus menyinari Hanan.Usianya 21 tahun, punya tubuh tegap dan kekar. Sebagai tamatan sekolah rakyat bernama Volk School (kerap disebut De Inlandsche School), ia tergolong pemuda intelek.Tamat dari Volk School tahun 1931, ia berniat untuk mencari kerja. Tapi keinginan itu tak direstui Haji Hasyim. Pak haji ingin Hanan masuk ke sekolah teknik terkenal di Belitung kala itu. Namanya Ambacht School (AC) di Manggar, berjarak 82 Km dari Kota Tanjungpandan.Jebolan AC langsung diterima jadi karyawan GMB.

TAHUN 1934 adalah tahun membahagiakan, baikbagi orangtua angkat Hanan di Tanjungpandan maupun keluarganya di Mempiu dan ayahnya di Desa Ibul. Tahun itu Hanan membawa pulang selembar ijazah AC Manggar. Kala itu AC baru menelurkan empat angkatan. Alumninya baru 120 orang.Mereka ahli teknik profesional. Semuanya diterima bekerja di GMB, yang kala itu tengah jaya-jayanya (Bab 14, hal 89).

Perubahan status dialami Hanan.Ia dipercaya sebagai koordinator para montir di bengkel GMB. Ia kian pede (percaya diri).Tiap bulan Hanan menerima gaji sebesar 30,50 gulden. Ia lebih leluasa membantu keuangan ibunya di kampung. Tatkala masih berstatus pelajar AC, ia biasa menyisihkan uang sakunya untuk ibu dan dua adiknya di Mempiu.

Suatu hari ia sengaja pulang ke Mempiu menggunakan sepeda ontel. Hanan ditemani rekan satu bengkel yang juga mengendarai ontel. Sepeda ontel milik Hanan baru dibeli, itu tampak dari bungkus plastik di hampir semua bagian sepeda.Sepeda ini ia berikan kepada ibunya untuk memperlancar usaha dagang kain keliling ibunya. Saat itulah, Selamah yang biasa bersikap keras pada anak-anaknya, tak kuasa menahan haru lalu meneskan air mata (halaman 94).

KEKUATAN biografi Hanandjoeddin ini antara lain terletak dari akuratnya data yang diperoleh penulis. Haril,dalam kata pengantarbiografi yang berjudul “Mewujudkan Obsesi Pak Hanan” (hal xiii),mengakui data ia peroleh selain berasal dari buku sejarah AURI (jilid 1 dan II)yang berjudul “Buku Penelitian Periode 1945-1950. Sejarah Pertumbuhan AURI”, data tentang Hanan ia gali dariCatatan Harian Hanandjoeddin sendiri.Informasi lain berasal dari keluarga besar dan rekan-rekan kerja serta anak buah Pak Long (demikian sapaan penulis kepada Pak Hanan).

Tak kurang pentingnya adalah informasi yang digali dari orangtua angkat, dan rekan-rekan semasa sekolah di Ambacht School (AS).Penggalian data Hananmasa kecil dan remaja Haril dilakukan sejak 2005 (halaman xvii).

Ciri yang menjadi ‘tangga’ masuk ke bab atau judul lain biografi Pak Long adalah konsistennya penulis membuat ‘kepala berita’.Ini persis seperti awal sebuah berita terbitan kantor berita.Di bab 17 dengan judul ‘Berangkat ke Pulau Bintan’ sebagai contoh, Haril menuliskan PULAU BINTAN, Riau, Februari 1938.

FASE PENTING lain dari perjalanan hidup Pak Long adalah tatkala manajemen GMB meminta dirinya bekerja di tambang bauksit di Pulau Bintan, Kepulauan Riau.Rupanya perusahaan Bauxit Syndicate yang dibentuk Belanda pada tahun 1925 itu , dianggap tak mampu. Maka konsesi logam itu selanjutnya diberikan kepada GMB.

Tahun 1935, GMB membentuk anak perusahaan untuk menambang bauksit. Namanya NV Naamloze Venotschap Indische Bauxit Exploitatie Maatschappij (NIBEM).Pekerja inti NV NIBEM merupakan pegawai terlatih GMB yang didatangkandari Belitong (Bagian III, halaman 106).

FRAGMEN hidup Pak Long terpenting lainnya adalah tatkala tahun 1940 ia pulang ke Belitong.Setelah selama dua tahun kerja di Sungai Kolak, lokasi penambangan bauksit NV NIBEM, ia menikmaticuti selama dua minggu di Belitong.

Setiba di Belitong, ayah angkatnya, Haji Hasyim, menjodohkan Pak Long dengan keponakannya Haji Hasyim bernama Hatimah.Masa itu lazim orangtua menikahkan anak perempuannyameski berusia muda. Umur Hatimah baru menginjak 17 tahun, sementara usia Hanan sudah 29 tahun (Bagian III, halaman 119).

TAHUN 1941 Hanan kembali ke Belitong, menyusul berakhirnya kontrak kerja di NV NIBEM.Ia bertemu kembali dengan Hatimah telah melahirkan seorang buah hati bernama Hatijah.Halimah tidak dibawa ke Bintan. Ia sengaja dititipan dengan keluarganya di Belitong.Keluarga muda ini awalnya hidup bahagia.Namun seiring Hanan tak punya kerja tetap, membuat keluarga ini kerap bertengkar.Mereka akhirnya bercerai (Bab III, Romantika Zaman Belanda, halaman 134).

PERCERAIAN ini mendorongPak Long alias Hanan nekad meninggalkan Belitong. Dengan membawa rasa sedih yang mendalam karenaberpisah dengan puteri tercinta, Hatijah, ia menumpang kapal kayu tujuan Pelabuhan Sunda Kelapa, Batavia.Sebelum angkat sauh, tatkala masih Pelabuhan Tanjungpandan, Hanan berjumpa dengan Haji Hamim bin Haji Akil (seorang pedagang antarpulau asal Belitong).Haji Hamimadalah teman dekat orangtua angkatnya.Haji Hamin membawa Hanan ke ke Bandung,dan menginap di rumah adik kandungnyabernama Halimah.Ternyata suami adik pak haji itu adalah Pak Surya Kastam,. Dia guru Hanan semasa sekolah di Ambacht School, Manggar (Halaman 135 hingga 139).

DI BANDUNG TAHUN 1941 merupakan titik balik bagi Hanan.  Di Bumi Parahiyangan ini nasionalismenya bergelora hebat.  Bak dapat panggung, Hanan kerap terlibat diskusi dengan pelbagai aktivis politik.  Apalagi di Kota Kembang ini menjadi lokasi  sekretariat organisasi pergerakkan kemerdekaan Indonesia.  Antara lain Partai Indonesia Raya (Perindra).

Hanan memang sejak awal telah bersimpati pada tokoh Perindra Muhammad Husni Thamrin dalam menggelorakan “Indonesia Berpalemen”.Paham kebangsaan yang dianut Perindra telah tumbuh dalam diri Hanan sejak ia bekerja di GMB, Tanjungpandan, tahun 1937 (Bagian IV Liku-liku Zaman Jepang, halaman 147-148).

Kala itu Pemerintah Hindia Belanda giat melancarkan operasi intelijen.Belanda khawatir Jepang telah ‘meracuni’ pikiran aktivis pergerakkan Indonesia.Ini dilakukan untuk memperlancar Perang Asia Timur Raya, yang ternyata sudah dibaui olehintelijen Pemerintah Hindia Belanda.

Kekuatiran beralih menjadi ketakutan luar biasa. Kian mencuat manakala 7 Desember 1941, Pearl Harbor, pangkalan laut terbesar Amerika di Asia Pasifik porakporanda. Pearl Harbor diserang ratusan peswat Jepang. Dalam tempo singkat ratusan kapal perang dan pesawat Amerika hancur.Lebih seribu prajurit Amerika tewas akibat serangan mendadak dalam dua gelombang. Akibatnya moril pasukan Sekutu pun merosot.

Pasukan Jepang bergerak cepat. 8Desember 1941, Jepang menyerangSemenanjung Malaya.Mereka dengan mudah menguasai ujung Selatan Thailand dan Utara Malaya. Selanjutnya turun ke Selatan dan menguasai Singapura.

Menjelang tentara Jepang masuk keHindia Belanda, petugas intel Belanda dari Politieke Inlichtingen Dienst (PID) kian ganas dan menyiduk siapapun yang dikira punya hubungan dengan Jepang.Petugas intel PID menangkap tokoh utama Perindra MuhammadHusni Thamrinketika baru pulang dari Solo.Bererapa hari kemudian ia meninggal dunia.

Rupanya, petugas PID sudah lama mencurigai sejumlah anak muda asal Belitong yang tinggal di rumah Pak Surya Kastam di Cibangkang Bandung.Selain Hanan,terdapat tiga pemuda asal Belitong.Mereka kos di rumah Pak Surya itu adalah Muhammad Ibrahim, Abubakar Gani dan Hasan Basri.Muhammad dan Abu tengah adalah pelajar, sedangkan Abubakar sedang mencari kerja di Bandung.

Suatu petang di akhir Desember 1941,Hanan mendapat informasi dari Pak Surya dan isterinya bahwa Muhammad Ibrahim telah ‘dicokok’ tiga petugas PID.Intel Belanda datang ke rumah Pak Suryawa dan membawa Ibrahim ke markas PID.

Baru saja memikirkan nasib Ibrahim, Hanan yang kala itu menyelonjorkan kaki sambil minum segelas air, sudah dikejutkan oleh bunyi keras ketukan pintu.Ternyata petugas PID sudah mengintai di luar rumah ketika Hanan pulang ke rumah Pak Surya.Petang itu Hanan dibawa ke markas PID.Ia dan Ibrahim pun diinterograsi intel PID.

Ibrahim beberapa hari tinggal di markas PID.  Sementara Hanan keesokan harinya sudah  keluar,  dan kembali kerja.  Ternyata intel PID menghubungi  bos perusahaan tempat  Hanan bekerja,  Wolter & Co (perusahaan pensuplai air minum di Bandung) , untuk datang ke markas PID.  Untungnya Hanan tidak dipecat.  Ia  masih dipercaya  memegang posisi hofmandur di perusahaan itu (Bagian IV. Liku-liku Zaman Jepang, halaman 164).

Maret 1942,  Hanan hijrah ke Malang.  Untuk aktivis seperti dirinya, Bandung sudah tidak kondusif lagi.  Intel PID sudah beberapa kali mencoba menangkapnya. Tapi selalu gagal. Ini bermula dari kepanikan Pemerintah Hindia Belanda setelah tahu  mudahnya tentara Jepang menaklukan Malaya dan Singapura. 

Kota Singapura dikenal sebagai pusat logistik Sekutu jatuh ketangan Jepang pada 15 Pebruari 1942.  Sebanyak 130.00 personel Sekutu dibawah komando Ingris menjadi tawanan Jepang.

Memasuki Pebruari 1942, Jepang mulai melancarkan serangan ke sejumlah kota di Pulau Jawa.  Banyak perusahaan menghentikan aktivitasnya.  Pengusaha Belanda sudah banyak melarikan diri, di antaranya ke Australia.  Termasuk bos perusahaan Wolter & Co, pergi ke Australia untuk menyelamatkan diri.  Pekerja terpaksa menganggur.

Di Kota Malang ini karir militer Hanan bermula. Ketika seluruh Pulau Jawa jatuh ke tangan tentara Dai Nippon, Jepang memerlukan banyak tenaga pribumi untuk membantu misi perang mereka.  Antara lain tenaga teknik untuk memelihara kondisi pesawat terbang Jepang.

Militer Angkatan Darat Jepang (Rikugun) di Jawa Timur telah membentuk dua satuan tempur (Butai) di Malang.  Sebuah satuan udara bernama Ozawa Butai bermarkas di Dameyan, kawasan Kertanegara.  Satu lagi, di Tomimori Butai yang berkedudukan di Singosari Bugis.

Hanan tergiur menjadi anggota Ozawa Butai.  Ia langsung diterima karena dianggap sudah berpengalaman kerja.  Hanan membawa salinan ijazah sekolah teknik Ambacht dan surat pengalaman kerja di GMB dan NIBEM.

Karena memiliki kemampuan lumayan di bidang teknik, Hanan ditempatkan di Tomimuri Butai.  Pertamakali bekerja sebagai mekanikku (montir atau teknisi) yang membidangi Daini (pesawat pemburu).  Pihak tentara Jepang memberi Hanan seragam kerja warna hijau ke kuningan (halaman 184).  

Tak lama kerja di Pangkalan Udara Bugis Malang, pangkat Hanan naik menjadi ‘hancho’. Hancho merupakan sebutan untuk seorang pimpinan kelompok pekerjaan. Dia dipercaya  mengepalai beberapa montir pesawat pemburu (Daini) Jepang di lapangan Bugis (Bab 30 hancho Didikan Dai Nippon, halaman 187).

Di Kota Malang ini pula Hanan menikah dengan Musri’ah.  Gadis ini puteri dari sebuah keluarga yang tak jauh dari tempat Hanan kosan, di Kampung Waru.  Mereka menikah pada 15 Juni 1943. Keduanya sama-sama lahir pada tanggal 5 Agustus. Hanan lahir di Mempiu, Belitong, 5 Agustus 1910. Sementara Mus’riah lahir 5 Agustus 1928 (halaman 233).

SEIRING perjalanan waktu, Jepang mulai keteteran dalam perang.  Satu persatu pulau di Pasific kembali direbut Sekutu.   Karena sulit mendapat tambahan tentara dari negaranya, Jepang merekrut pemuda Indonesia menjadi  “Giyugun”, Heiho dan Pembela Tanah Air (PETA).

Pasukan Dai Nippon kalah telak setelah Sekutu menjatuhkan bom atom pada 6 Agustus 1945.  Akibat bom dasyat itu Kota Hiroshima dan Nagasaki luluhlantak.  Jepang mengakhiri perang, dan menyerahkan jajahannya kepada Sekutu.  Khusus Hindia Belanda kembali diserahkan kepada Belanda.  Termasuk penguasaan Pangkalan Bugis di Malang.

Perubahan itu dirasakan oleh segenap kru dan montir Indonesia di Pangkalan Bugis.  Semula mereka tidak tahu kalau Jepang kalah perang.  Yang mereka rasakan memang terjadi perubahan sikap tentara Jepang.  Sebelumnya garang dan pemarah, tiba-tiba menjadi ramah.

Hanandjoeddin sebagai “hancho” atau Ketua Regu Teknik Udara Ozawa Butai pada bagian “Daini” (pesawat pemburu) baru tahu ketika disapa perwira Jepang.

“Hancho mulai besok jangan lagi kerja ya! Hari ini kamu ajak anggotamu ambil gaji,” kata Letnan Jepang.  “Syenso” (perang) kata perwira ini sudah selesai. Ternyata Jepang sudah membuat surat pemberhentian kerja 8 Agustus, atau dua hari setelah Sekutu menjatuhkan bom ke Nagasaki dan Hiroshima.   15 Agustus Jepang telah menyerah kalah kepada Sekutu.

Dua hari setelah Jepang takluk (17 Agustus 1945), dwitunggal Soekarno-Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia.   Berita ini lambat laun tersebar ke seluruh negeri.  Di kota-kota di Jawa Timur berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia cepat tersebar. Salah satu sebabnya karena disiarkan oleh Kantor Berita Pendudukan Jepang, “Domei” di Surabaya.

Pekan keempat Agustus 1945, Hanandjoeddin mengumpulkan rekan-rekannya.  Mereka tak lain para montir eks Ozawa Butai.  Dalam pertemuan itu diputuskan membentuk panitia kecil kelompok pemuda teknik penerbangan.  Kelompok ini sebagai usaha persiapan membentuk semacam Badan keamanan Rayat Oedara di Malang.

Tanggal 28 Agustus Hanan ikut hadir dalam pengukuhan Komite Nasional Indonesia Kota Malang di Balai Kota Malang.  Mr Soenarko dipercaya sebagai ketuanya. Sedangkan Ketua badan Keamanan Rakyat (BKR) Malang ditunjuk Imam Soeja’i, seorang mantan Daidanco (Komandan Balatyon PETA).

Sejak itu Hanan bergabung dengan BKR Malang dikomandani Imam Soeja’i.  BKR Malang merupakan bagian dari BKR Angkatan Darat.  Awal September 1945, BKR Malang ganti nama menjadi Divisi VIII Jawa Timur.  Wilayahnya mencakup Malang dan Besuki. Imam Sorja’ie sebagai komandan divisi VIII dengan pangkat jenderal mayor. Lapangan  Udara  Bugis tanggal 22 September 1945 sepenuhnya penguasaan BKR Divisi VIII Malang (Bagian V. Dalam Pusat Revolusi Kemerdekaan, halaman 252-269).

Sepeninggal balatentara Jepang, terdapat 70 jenis pesawat terparkir di Lapangan Udara Bugis.  Ke-70 pesawat itu terdiri dari 25 Cukiu (pesawat latih) , sembilan  Nishikorem (pesawat latih) ,  11 Hayabusha (pesawat pemburu), empat Sansykisen (pesawat pemburu), tujuh Guntai (pesawat pembom tukik), tujuh Sakai (pembom tukik) satu Rocojunana (pembom berat dan satu pesawat transpor (Halaman 273).

Semua pesawat itu memerlukan montir dalam jumlah banyak. Maka “Panitia Persiapan Kaum Teknik Penerabangan Indonesia”, yang diketuai Imam Soepeno mengumpulkan anggota eks penerbang Jepang.  Selain itu mencari tenaga baru.

Awal Oktober 1945, Imam Soepenon, Hanandjoeddin, Kid Darlim dan kawan-kawan lainnya, melakukan  propaganda keliling kota.  Dari atas mobil bak terbuka mereka menyebar pamplet. Isinya memanggil para pemuda dan anggota teknik segera mendaftarkan diri  sebagai anggota penerbang.

Ada 150 pemuda mendaftarkan diri.  Semua diminta datang ke gedung Concordia tanggal 10  Oktober 1945.  Pada hari itu diresmikan Badan Keamanan Rakyat Oedara (BKRO) Malang.  Badan ini merupakan satuan militer yang menjadi bagian dari Divisi VIII.

Dalam beberapa minggu kemudian, BKRI ini berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat Oedara (TKRO). Sedangkan Divisi VIII berubah menjadi TKR Divisi VII Surapapati. Perubahan  nama itu mengikuti Maklumat Pemerintah Nomor 6.  Dalam maklumat bertanggal Jakarta, 5 Oktober 1945 disebutkan, lahirnya TKR merupakan penjelmaan dari BKR. Yaitu sebagai alat untuk memelihara keamanan umum (halaman 275).

Berkat kerja keras teknisi Pangkalan Bugis yang tergabung dalam BKR Oedara dalam tempo tak sampai seminggu berhasil memperbaiki empat pesawat. Yaitu Cukiu (TK-001), Cukiu 002 (TK-002), Cukiu 003 (TK-003) dan Cukiu 004 (TK-004).

Tapi mereka tidak bisa mengudarakan pesawat itu. Informasi ini diketahui Penglima Divisi VIII Surapati Jenderal Mayor Iman Soeja’i.  Tanggal 17 Oktober 1945, Pangkalan Udara Bugis didatangi rombongan Dri Soegiri dari Surabaya.  Didampingi Imam Sopeja’i dan Residen Malang Syam, ikutserta dua pilot dan seorang montrir Jepang.  Ketiganya orang Jepang itu sudah menggunakan nama Indonesia.  Mereka adalah Ali, Atmo (penerbang) dan Amat (montir).

(Eddy Jajang J Atmaja, resensi ini telah didedahkan pada Bedah Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan  H. AS. Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI beberapa waktu lalu di Kota Pangkalpinang, 3 Juli 2018).


Topik

Kampus_Terpadu_UBB
. ayar