UBB Press / Eddy jajang
TEKANAN WAKTU -- Empat mahasiswa KKN UBB Angkatan ke 13 di Kota Kapur tengah merampungkan kerja menyusun Kamus Bahasa Daerah Kota Kapur. Mereka saling bantu untuk menyelesaikan pekerjaan ‘berat’ itu di bawah tekanan waktu. Sebab batas akhir KKN UBB Hari Senin tanggal 20 Agusutus 2018.
KOTA KAPUR, UBB -- Menjelang hitungan hari penarikan kembali mahasiswa KKN UBB ke Kampus Terpadu UBB di Balunijuk, empat mahasiswa KKN UBB di Kota Kapur bekerja ekstra keras untuk segera merampungkan penyusunan Kamus Bahasa Daerah Kota Kapur.
“Kami tahu bahwa Hari Senin tanggal 20 Agustus merupakan batas akhir KKN, dan kami ‘ditarik’ kembali ke Kampus UBB. Tapi, meski dikejar-kejar waktu, kami tak kenal putus asa; terus saja bekerja menyelesaikan Kamus Kota Kapur,” ujar Zahratul Huda, Kamis (16/08/2018) petang.
Didapuk sebagai Ketua Penyusunan Kamus Bahasa Kota Kapur, Zahratul Huda mengakui ia dan anggota tim lainnya memang sejak awal menyadari 40 hari masa waktu KKN tergolong singkat bagi usaha menyusun Kamus Bahasa Kota Kapur.
“Perlu waktu dan konsentrasi esktra untuk merampungkan penyusunan suatu kamus. Namun kendala waktu itu justru menjadi tantangan bagi kami untuk mencari jalan keluarnya. Kami siasati dengan membagi tugas kepada anggota lainnya,” ujar Zohratul.
Penyusunan Kamus Kota Kapur ini dilatarbelakangi dari pendapat sejumlah pengamat bahwa Bahasa Melayu yang sudah berabad-abad menjadi lingua franca (Bahasa Pengantar) di Kepulauan Melayu (Malay Archipelago), di antaranya diwarnai dan bahkan ada yang menilai berasal dari Kota Kapur.
Pendapat, atau hipotesis muasal Bahasa Melayu modern ini, berawal dari inskripsi batu bertulis pada Lingga prasasti tinggalan Kedatuan Sriwijaya berangka tahun 680 Saka (686 Masehi) yang ditemukan oleh JK van der Meulen di Kota Kapur pada Desember 1892.
Prasasti Kota Kapur merupakan prasasti ‘persumpahan’ tertua (dari empat prasasti lainnya, antara lain Prasasti TalangTuo dan Kedudukan Bukit di Palembang), menandai adanya Kerajaan Sriwijaya. Prasasti ini ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan Bahasa Melayu kuno.
Pembuatan Kamus Bahasa Daerah Kota Kapur itu sendiri diharapkan dapat mengindentifikasi ‘jejak-jejak’ kata daari Bahasa Melayu kuno yang kemungkinan besar masih digunakan oleh masyarakat setempat sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.
Menurut Zahratul, penyusun Kamus Bahasa Kota Kapur terdiri dari empat mahasiswa KKN UBB. Mereka adalah Zohratul Huda (Jurusan Sosiologi), Novia (Jurusan Teknik Elektro), Aristian Jordi (Jurusan Sosiologi), dan Miftah (Jurusan Teknik Elektro).
Untuk mempermudah kerja, tiap penyusun kamus diberikan beban abjad. Zohratul punya beban mulai dari huruf a hingga g, Novia huruf h hingga m, Aristian mulai hurup n sampai s dan Miftah dari huruf t hingga z.
Kamus Bahasa Kota Kapur berisi tiga bahasa. Paling awal kata (atau istilah, pengalan kata) Bahasa Bangka (paling umum digunakan), di tengah Bahasa Indonesia, dan paling ujung adalah kata (ungkapan, istilah dan penggalan kata) Bahasa Daerah Kota Kapur.
Empat mahasiswa sebagai penyusun kamus, dalam praktiknya mencari narasumber yang punya kompetensi dari Desa Kota Kapur. Miftah contohnya dalam menyusun kata berhuruf awal t hingga z berasal dari narasumber Atok Simin (Ketua Kelompok Dambus Kota Kapur).
Sementara narasumber Zahratul adalah Ali Akbar, warga Desa Kota Kapur. Amang Din (warga Kota Kapur) menjadi narasumber Novia. Sedangkan Ketua BPD Kota menjadi ‘acuan’ Aristian Jordi dalam menyusun kata dengan huruf awal n hingga s.
“Narasumber sudah kami tentukan. Proses wawancara pun kami lakukan bersama. Sebagian langsung kami ketik, guna menghindari ada kata yang kami lupa,” ujar Zahratul Huda.
Berdasarkan wawancara langsung dengan tim penyusun Kamus Bahasa Kota Kapur, hingga Kamis (16/08/2017) pukul 16 wib telah tersusun 921 kata. Meski belum sampai seribu kata, sudah terdapat sejumlah kata (kemungkinan) berasal dari Melayu kuno yang hingga kini masih digunakan warga Kota Kapur.
Misalnya, untuk ‘sombong’ (Bahasa Indonesia), Bahasa Kota Kapurnya adalah ‘valaq’. ‘Berlebihan’ (Bahasa Indonesia), Bahasa Kota Kapur adalah ‘pol’. ‘Pelit’ (Bahasa Indonesia), dalam Bahasa Kota Kapur disebut ‘kiket’.
“Target kita 5.000 kata. Tapi karena ada banyak kegiatan yang juga ikuti, hingga Kamis ini baru sampai di huruf n. Mudah-mudahan hingga akhir KKN tanggal 20 Agustus bisa mencapai 5.000 kata!,” ujar Zahratul (Eddy Jajang J Atmaja, Ghiri Basuki).