Perubahan Perilaku Manusia Kunci Dasar Keberlangsungan Lingkungan Hidup Berkelanjutan

Penulis: Editor | Ditulis pada 03 September 2019 17:18 WIB | Diupdate pada 03 September 2019 17:51 WIB


ICOGEE 2019 RESMI DIBUKA --  Rektor UBB Dr Ir Muh Yusuf, didampingi lima profesor, para wakil rektor, dekan FT, dan undangan, resmi membuka ICoGEE dan SNPPM 2019, ditandai dengan pemukulan gong konferensi di ruang Ballroom Grand Parai, Hotel Sahid Bangka, Pangkalpinang, Selasa (3/09/2019) pagi.

PANGKALPINANG, UBB  --  Upaya untuk mewujudkan energi hijau dan aplikasinya, serta langkah-langkah menciptakan lingkungan hijau yang berkelanjutan,  pada dasarnya terletak pada perubahan prilaku  manusia itu sendiri  ke arah tersebut.

Adalah benar banyak  penelitian  telah   berhasil  menciptakan produk ramah  lingkungan atau green produc, namun perubahan perilaku manusia tetap  menjadi kunci utamanya, seperti inovasi mendaur ulang  sampah organik menjadi produk yang ramah lingkungan.

Demikian antara lain benang merah dari penyampaian hasil penelitian  lima profesor dari empat negara pada hari pertama 1st International Conference on Green Energy and Environment (ICoGEE)  2019 di Sahid Bangka,  Selasa (3/09/2019) pagi.

Lima profesor tampil sebagai pembicara utama ICoGEE  yang berlangsung dua hari (3-4 September) itu adalah Prof Wen Chien Lee (National Chung Cheng University, Taiwan), Prof Orawan Siriratpiriya (Chulalongkorn University), Prof Hadi Nur (Universitas Teknologi Malaysia),  Prof Misri Gozan (Universitas Indonesia) dan Prof Brian Yuliarto (ITB).

Selain lima profesor yang tampil dalam  satu panel, usai istirahat siang giliran puluhan akademisi dan peneliti  pun dalam satu panel membahas  hasil penelitiannya di empat ruangan terpisah.  ICoGEE digelar bersamaan dengan  Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (SNPPM) ke tiga 2019.

ICoGEE resmi dibuka oleh Rektor UBB Dr Ir Muh Yusuf MSi, didampingi Dekan Fakultas Teknik UBB Wahri Sunandar ST. M.Eng, lima profesor pembicara utama,  Ketua Panitia ICoGEE  R Priyoko Prayitnoadi PhD, moderator Dr Edy Nur Tjahya, Direktur Center for Delevopment of Sustainable Region Dr Rachmawan,  Wakil Rektor I UBB Dr Mizwan Zuhri, Wakil Rektor 2 UBB Dr Sri Rahayu, Wakil Rektor 3 UBB Dr Sucipto,  Ketua Panitia SNPPM UBB Herman,  dan  wakil dari  Pemda Provinsi Kepulauan  Bangka Belitung.

Prof Orawan Siriratpiriya, satu-satunya  wanita dari lima pembicara utama (keynote speaker), ketika membahas penelitiannya berjudul “Environmental Sustainability and Zero Waste for Green Energy through Environmental Science Approach” menggarisbawahi pentingnya menerapkan falsafah ‘zero waste’ (ketidakadaan sisa/sampah” yaitu  “close loop system”.

Daur ulang sisa bahan organik, baik  yang dihasilkan rumahtangga  maupun  organisasi atau lembaga produksi komersial, menurut Orawan, menjadi asas utama “close loop system”  sehingga memudahkan terwujudnya energi dan lingkungan hijau yang berkelanjutan.

Ia mengatakan  sikap  yang konsisten  dalam menerapkan  “zero waste” harus disemai   sejak kanak-kanak.  Caranya dengan   semenjak dini melibatkan anak-anak bercocok-tanam dan mencintai lingkungan.

Di Thailand,  lanjut Orawan,  prinsip atau strategi  “zero waste” telah diterapkan dalam bentuk program Bath Concept, organic waste,  agri waste, “low carbon technology” dan menghijaukan atap kampus Chulalongkorn University.  Temuan lain adalah menggunakan serum lateks (latex serum) untuk meningkatkan produktivitas lateks.

Bioplastik 

Sementara itu Wen Chien Lee ketika memaparkan penelitiannya yang berjudul “Production of Bioethanol and Bio-based Chemicals from Lignocellulosic Biomas”, mengemukakan penemuan bioplastik, atau plastik alami yang bisa didaur-ulang.

Penemuan ini sekaligus menjawab kerisauan atas penggunaan plastik yang dapat hancur setelah ratusan tahun.  Sekarang, untuk media pembungkus atau peruntukan lain,  bisa menggunakan bioplastik ramah lingkungan  yang dibuat dari  siswa (‘waste”) bahan organik.

Selain bioplastik, menurut President of Asian Federation of Biotechnology (AFOB) ini,  sekarang juga telah ditemukan bahan bakar minyak (BBM) ethanol --  sebagai alternatif penganti energi  dari bahan  fosil.   Namun sayangnya  biaya produksi ethanol lumayan mahal.

“Bahan bakar ethanol terbuat dari ‘waste’  tandan buah segar kelapa sawit dan rumput-rumputan.   Sayangnya, biaya produksinya mahal.  Tapi hasil sampingan dari ethanol berupa xylitol itu harganya mahal, meng’cover’ biaya pembuatan ethanol,” ujar Lee.

Sedangkan Prof Hadi Nur  dosen  Universiti Teknologi Malaysia (UTM) menjawab pertanyaan salah seorang dosen tentang apakah ada Titanium Oksida (Ti02)  di dalam Logam Tanah Jarang (rare mineral) di bumi Bangka Belitung, mengemukakan  Titanium Oksida memang terdapat di dalam Logam Tanah Jarang di daerah ini.

“Mengenai banyak-tidaknya, itu perlu dikakukan katerisasi dulu,” ujar Hadi Nur yang mengupas panjang-lebar hasil penelitiannya berjudul “Structure  Photocatalytic and Activities  Relationship of some  Solid Controlled Material”.

Titanium oksida berperan penting dalam banyak bahan manufaktur, seperti campuran cat dan pelapis berbagai bahan untuk menapi gangguan organisme.   Titanium oksida berfungsi sebagai bahan ‘pembersih’ bahan atau media yang dilapisinya.

“Titanium oksida sudah banyak diterapkan.  Tapi selebihnya masih terus di riset kemanfaatan lainnya,” ujar Hadi Nur, akademisi Indonesia yang sejauh ini  mencetak  30 PhD di UTM, Skudai, Johor Bahru, Malaysia.

Prof Misri Gozan dalam penelitiannya berjudul “Prelimenary Plant Design of Biofuel from Algae in Balikpapan, South Kalimantan” mengemukakan biodiesel merupakan salah satu energi alternatif,  yang menjanjikan menggantikan bahan bakar fosil: digunakan saat ini.

“Biodiesel   yang berasal alga, lokasi  budidayanya  paling bagus di Karingau, Kalimantan Selatan.  Diperlukan lahan sekitar 7.700 meter persegi,” ujar Misri Gozan.

Menjawab pertanyaan  seputar pemanfaatkan lahan bekas tambang dari salah seorang peserta ICoGEE, Misri --  yang  membuka paparannya dengan menayangkan video perkebunan kelapa sawit --  menjelaskan sebelum digunakan kita harus tahu lebih dahulu mineral apa yang kurang di lahan bekas tambang tersebut.

“Selain di pupuk, kita harus lebih dulu tahu mineral apa yang kurang.  Kalau kurang ya bisa diberi pupuk,” tukas Misri.

Prof Brian Yuliarto mengemukakan panjang-lebar tentangn penggunaan sensor yang berasal dari metal oksida.   Sensor yang  menggunakan bahan itu ternyata setelah diteliti lebih sensitif.

Di Jepang lanjut Brian Yuliarto, sensor sudah  tidak hanya digunakan untuk mendeteksi penyakit, tapi  sudah dikenakan untuk kepentingkan olahraga.

“Di bagian belakang kaus atlet di Jepang telah dipasang sensor, yang berfungsi mendeteksi stamina atlet.  Pelatih bisa meminta  atlet itu ke luar lapangan apabila sensor menyatakan staminanya menurun,” ujar profesor berusia muda ini (Eddy Jajang J Atmaja, Agus Susanto)  


Topik

REKTOR_UBB Fakultas_Teknik_UBB Wahri_Sunanda,_ST,._M.Eng
. ayar