RUU KUHP: PRO KONTRA KARYA ANAK BANGSA

Penulis: Editor | Ditulis pada 03 Oktober 2019 11:07 WIB | Diupdate pada 03 Oktober 2019 11:23 WIB


                                              

                                             (Opini Bangkapos 3 Oktober 2019)

                                                          Oleh : Dwi Haryadi

                                                     Dosen Fakultas Hukum UBB

Beberapa hari terakhir ini kita menyaksikan bersama demostrasi dari berbagai elemen masyarakat, terkhusus mahasiswa. Tujuannya DPR RI dan yang di daerah DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Isunya fokus pada beberapa RUU yang oleh Pemerintah dan DPR sepakat untuk diketok palu alias disahkan. Setelah revisi RUU KPK tetap disahkan, beberapa RUU oleh Presiden ditunda. Diantaranya ada RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan. Tulisan ini akan konsen pada RUU KUHP ditengah pro kontra yang muncul, dan menjadi perhatian publik. Sejak dipublis akan disahkan, muncul berbagai respon positif maupun negatif. Beberapa pasal yang dinilai bermasalah kemudian viral bahkan memunculkan beragam meme, video kocak, termasuk hastag seperti #tolakruukuhp dan #semuabisakena plus komentar miring, serta nyinyiran yang tak terbilang jumlahnya didunia maya. Respon menerima atau menolak pada prinsipnya sah-sah saja ditengah semua berhak berpendapat, dan realitas hukumnya tidak semua rasionalitas pembuat undang-undang itu dapat diamini oleh 260an juta penduduk Indonesia.

 

KUHP TIGA ABAD

Bicara RUU KUHP tentu harus memahami pula historinya kenapa RUU KUHP itu harus lahir. Salahsatunya karena KUHP yang saat ini masih kita gunakan usianya sudah menginjak 3 abad. KUHP ini merupakan Code Penal Perancis yang lahir 1791, kemudian ditiru oleh Belanda dalam bentuk WvS (Wetboek van Strafrecht) tahun 1881. Resmi berlaku di Hindia Belanda 1918 dan setelah memasuki era kemerdekaan, berdasarkan UU No 1 tahun 1946 KUHP ini berlaku di Indonesia sampai dengan detik ini. Sebagai produk kolonial, bahkan lahir dari rahim Code Penal Perancis diabad 17 silam maka tentu isinya menyesuaikan dengan zamannya, kebutuhan lokal, termasuk nilai dan asas didalamnya. Betul ada penyesuaian dengan Indonesia tetapi sifatnya parsial alias tambal sulam.

Reorientasi dan Reformasi

Spirit dari RUU KUHP sesungguhnya adalah melakukan penal reform atau pembaharuan hukum pidana yang pada hakekatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan criminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.

Jadi upaya yang dilakukan oleh tim perumus RUU KUHP yang sudah diinisiasi sejak tahun 1963 era orde lama adalah melakukan pembaharuan KUHP yang sifatnya total dan bukan parsial sebagaimana selama ini dilakukan. Misalnya hanya mengganti istilah gulden menjadi rupiah, lalu memperluas asas territorial termasuk kapal dan pesawat udara dan lain sebagainya. Sementara asas-asas dan nilai-nilai didalamnya masih berprinsip kolonial yang liberal dan individual. Berbeda jauh dengan nilai-nilai Pancasila kita yang menjadi sumber dari segala sumber hukum. Oleh karenanya RUU KUHP yang ingin dibangun adalah sebuah mahakarya nasional anak bangsa yang selaras dengan nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat Indonesia.

Menurut Muladi, sebagai Tim Penyusun RUU KUHP, sejak dicetuskan 1963, sudah 17 anggota tim penyusun yang wafat. Sudah melewati 13 Menteri Kehakiman. Artinya ini RUU bukan barang karbitan yang dibuat kemarin sore, dan bukan pula didesain oleh orang yang bukan ahlinya. Namun bukan pula menyebut ini karya sempurna karena tak ada gading yang tak retak. Namun menolak RUU KUHP yang seolah salah semuanya, terlebih karena belum membacanya secara konfrehensif juga terlihat tidak arief. Penundaan pengesahan RUU KUHP ini diambil sisi positifnya guna menuju arah penyempurnaan. Disisi lain juga bentuk sosialisasi dan edukasi secara tidak langsung sekaligus membuka mata publik perihal peraturan yang nanti akan diberlakukan kepadanya. Namun kiranya proses ini tidak memakan waktu yang lama lagi. Sehingga kita memiliki KUHP Nasional dan tentunya jalur konstitusional melalui MK tetap terbuka untuk menggugat.

Pasal Kontroversial

Meskipun tulisan singkat ini tidak dapat membedah lengkap, namun sekilas dapat penulis sampaikan beberapa point penting beberapa pasal yang viral dan dikritik publik. Sebelum lebih jauh, penulis sampaikan dulu bahwa RUU KUHP terdiri atas dua buku, yakni buku satu tentang ketentuan umum ada 187 Pasal dan buku dua tentang tindak pidana ada 627 Pasal. Jadi ada 814 pasal dalam RUU KUHP. Pertama soal penghinaan Presiden/Wapres. Pasal ini dipandang akan membuat penguasa anti kritik dan menjadi alat guna mengkriminalisasi. Namun perlu dipahami bahwa RUU merumuskan bahwa ini adalah delik aduan dan bukan tindak pidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau membela diri. Kedua, soal perzinahan. Sebenarnya pasal ini adalah perluasan dari KUHP lama, dimana dihilangkan kalimat “yang sudah kawin”. Selama ini dikatakan zina jika salahsatunya terikat tali perkawinan. Padahal norma agama dan kesusilaan kita menormakan zina itu termasuk didalamnya yang sesama jomblo alias tidak terikat perkawinan. Jadi pasal ini justru sejalan dengan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat kita. Ketiga, soal pasal aborsi. Harus dipahami bahwa ada prinsip lex specialis, yakni UU Kesehatan. Artinya korban perkosaan atau darurat medis dikecualikan untuk pemidanaan atas praktik aborsi.

Keempat, perihal peragaan alat kontrasepsi. Sebenarnya di KUHP yang lama sudah ada, namun perumus kemudian mengatur larangan didepan anak, dan pengecualian untuk petugas KB, pencegahan penyakit menular, untuk pendidikan dan penyuluhan. Kelima, tentang kumpul kebo. Penulis menilai sudah sejalan dengan norma social kita dan menjadi pendorong bagi pemerintah untuk kelompok marjinal dan rentan dalam akses akta nikah. Kemudian ini menjadi delik aduan yang hanya dapat dilakukan oleh suami, istri, anak, orang tua dan kepala desa sepanjang tidak ada hubungan kekerabatan.Kelima, soal pemerkosaan dalam ikatan pernikahan. Kepentingan yang dilindungi adalah dari perbuatan kekerasan. Betul hubungan suami istri adalah soal privat. Namun saat terjadi kekerasan dan paksaan maka negara harus mengintervensi dengan mengkriminalisasi perbuatan tersebut. Keenam, soal delik santet. Sesungguhnya jika membaca utuh pasalnya, yang diatur adalah delik penawaran untuk melakukan santet. Jadi seperti larangan menjual jimat seperti dalam KUHP sekarang. Artinya pembuktinnya bukan soal gaibnya, tetapi soal penawarannya atau menjadikannya sebagai mata mencarian. Inilah yang dipidana. Terakhir, ketujuh soal ungags yang berkeliaran. Sebenarnya ini bersumber dari Pasal 548 KUHP lama, dan tetap dipertahannya dengan modifikasi dan perubahan sanksinya, karena dalam praktiknya perbuatan seperti ini terjadi dan merugikan orang lain.

Demikian sedikit berbagi pengetahuan perihal RUU KUHP dan tentunya pro kontra adalah sesuatu yang wajar, terlebih pada sebuah produk hukum yang didalamnya berusaha mengakomodir berbagai kepentingan yang begitu heterogen di negeri kita tercinta.


Topik

Opini Dwi_Haryadi
. ayar