UBB Perspective
Universitas Bangka Belitung
Artikel UBB
Universitas Bangka Belitung's Article
30 April 2008 | 02:16:31 WIB
Hikayat Keramat Bujang : Kisah Cerita Legenda Pulau Belitung
Ditulis Oleh : admin
MENURUT cerita yang berkembang di daerah Bantan, Tu' Rangga Tuban berasal dari Tanah Jawa. Beliau mempunyai dua isteri dan seorang anak angkat bernama Bujang. Kehebatan Tu' Rangga Tuban ini sangat dikenal dan termasyhur ke seluruh wiayah sekitar Bantan Kecik.
Dalam kesehariannya, di lengan kiri beliau selalu terpasang sebuah batu asah yang dikenakan jika akan bertempur menghadapi musuh-musuh yang datang dari sungai dekat Kampung Bantan, yaitu Ai' Sapai. Batu asah ini sekarang masih ada dan jika kita akan mengasah parang di daerah tersebut memang parangnya akan cepat tajam tapi selalu mengakibatkan luka bagi pemiliknya atau orang yang mengasah pisau di tempat itu.
Kehebatan lainnya adalah kepandaian Tu' Rangga Tuban membuat perahu sehingga di daerah Bantan ini ada satu tempat bernama Lemong Perahu, yaitu tempat bekas Tu' Rangga Tuban membuat perahu.
Satu hari beliau mengadakan perjalanan ke Palembang, menggunakan perahu buatannya sendiri. Di sana Tu' Rangga Tuban sempat membeli seekor burung puyuh yang sangat lincah. Tu' Rangga Tuban direpotkan sekali dengan burung tersebut sehingga pada waktu jam tidur tidak bisa sekejap pun hanya untuk menjaga agar burung tersebut jangan lepas ke laut. Akibatnya Tu' Rangga Tuban baru tidur pada siang hari, sementara penjagaan burung itu diserahkan kepada awak perahunya.
Setibanya di Belitung Tu' Rangga Tuban pun segera pulang dan langsung mengurus burung puyuhnya. Satu ketika, saat sedang tidak di rumah, burung itu lepas dari sangkarnya. Lalu Tu' Rangga Tuban pun berusaha untuk menangkapnya kembali. Disusunnya batu-batu besar untuk menghalangi burung itu meloncat dan batu-batu ini sekarang masih ada tersusun sedemikian rupa sehingga burung puyuh tidak bisa melompatinya. Sekarang penduduk setempat masih percaya bahwa orang yang mengencingi batu tersebut akan jatuh sakit. Begitulah di antara kehebatan Rangga Tuban.
Bagaimana dengan kehebatan anak angkatnya, Bujang? Pendek kata semua kehebatan-kehebatan Rangga Tuban diturunkan kepada Bujang, sehingga ia bisa menandingi ayah angkatnya itu. Namun, dasar anak berotot pendekar, dengan berlatih sendiri, kehebatan Bujang kemudian malah melebihi ayah angkatnya.
Melihat hal itu, timbullah rasa takut dan khawatir dalam diri Rangga Tuban. Karenanya muncul niat jahatnya untuk menghabisi Bujang. Apalagi difikirnya toh Bujang bukan anak kandungnya sendiri. Ia hanyalah seorang anak yang diambilnya dari kampung sebelah yang sebagian penduduknya adalah orang-orang jahat, berhasil dimusnahkannya.
Karena niat buruknya itu Bujang pun mendapat perlakuan lain dari biasanya. Kalau selama ini Bujang benar-benar diperhatikan pergaulannya dengan penduduk setempat, sekarang ia diberi kekebasan sama sekali. Melihat perubahan itu Bujang pun jadi curiga. Setelah mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan kepada ayah angkatnya, ia pun merasa tak punya kesalahan apapun. Ia selalu menghormati ayahnya, walau tahu dari ayahnya sendiri ia hanya anak angkat. "Barangkali beliau benci merasa tersaingi dengan kehebatannya dalam ilmu silat atau pun kesaktian lainnya," begitu dugaan Bujang.
Tu' Rangga Tuban juga selalu mencari-cari seteru dengan anak angkatnya itu. Ada-ada saja yang dilakukannya kepada Bujang. Mulai menyembunyikan parang milik Bujang hingga membuang tombaknya. Namun, Bujang tak pernah marah.
Satu ketika Bujang tidak diberi makan sama sekali oleh Rangga Tuban dan isterinya. Di sinilah kemudian Bujang merasa kalah. Bagaimana pun ia adalah anak penurut dan selalu mengikuti perintah orang tuanya. Misalnya, ia baru akan makan setelah disuruh orang tuanya seusai mereka makan. Tapi, kali itu tidak. Bujang pun kelaparan. Karena tubuhnya melemah, ia pun tertidur sambil menahan lapar.
"Berhasil siasatku," begitu latah Rangga Tuban. Dengan demikian, pikirnya, semua harta milik Bujang yang ia peroleh dari perahu-perahu yang dikalahkannya akan jatuh ke tangannya. Untuk menyembunyikan niat jahatnya itu, Bujang yang sedang tertidur lelap pun dibawanya ke ume mereka dan ditidurkan di pondok peristirahatan yang ada di ume tersebut.
Malam harinya pondok tersebut dibakarnya. Rangga Tuban pun mengatur seolah-olah pondok itu terbakar tanpa disengaja. Melihat pondok yang terbakar tersebut, berbondong-bondong penduduk sekitar memadamkan api yang makin mengganas.
Setelah api berhasil ditaklukkan, apa yang terjadi dengan Bujang? Begitu api padam, tanpa diduga-duga, Bujang keluar dari puing pondok yang masih berasap. Setelah tahu yang terbakar pondok ume-nya bukan rumah tempat ia tinggal bersama kedua orang tuanya, Bujang pun sadar bahwa ayahnya lah yang membawanya ke pondok itu, lalu membakarnya.
Bujang betul-betul heran dengan sikap ayahnya itu. Yang terfikir olehnya, mungkin ayahnya merasa tak mau dikalahkan siapapun termasuk anaknya sendiri.
Untuk mepercepat kehendak ayahnya itu Bujang pun angkat bicara, "Ayah, sebelumnya aku mohon maaf. Aku sudah tahu sejak lama Ayah menginginkan nyawaku. Tapi, untuk itu, tak akan ada gunanya dengan mengeluarkan semua ilmu milik ayah. Sebab aku baru akan mati jika Ayah menusukkan ujung daun lalang ke jari manisku."
Tapi, lanjut Bujang, sebelum dilakukan ia meminta agar permohonannya dikabulkan. "Kuburkan aku di antara langit dan bumi bersama-sama dengan hartaku yang ada di rumah. Lalu masukkan lah ke dalam sebuah tajau dan kuburkanlah di sebelah sisi kiriku. Dan, ampunkan semua kesalahanku," itulah permintaan Bujang.
Setelah mendengar permintaan dan rahasia kelemahan anak angkatnya itu, segeralah Rangga Tuban mengambil ujung lalang lalu menusukkannya ke jari manis Bujang. Setelah itu Bujang pun meninggal dunia.
Sesuai permintaan Bujang, Rangga Tuban pun menguburkannya di atas sebuah bukit bersama-sama dengan tajau (berisi emas) di sisi kirinya. Dengan demikian habislah harapan Tangga Tuban untuk memiliki harta Bujang.
Sekarang tempat dimana Bujang dikuburkan dikenal dengan nama Bukit Bujang dan kuburannya dikeramatkan orang dengan sebutan Keramat Bujang.
Mengenai harta Bujang yang ikut dikuburkan, saat ini, dikenal dengan tempayan Bujang. Pernah suatu waktu, puluhan tahun silam, ada dua orang lelaki berniat meminta harta tersebut. Maka bertapalah kedua orang itu di Keramat Bujang. Setelah tiga hari tiga malam, datanglah roh Bujang menghampiri mereka sambil berkata, "Kau boleh ambil hartaku, tapi harus menyerahkan darah orang yang kau sayangi." Sekejap kemudian raiblah roh Bujang.
Setelah berfikir sesaat kedua orang itupun kembali ke rumahnya sambil memikirkan apakah mereka harus menyerahkan darah orang yang mereka sayangi atau tidak mendapatkan harta yang mereka idam-idamkan.
Akhirnya, kedua orang ini pun menemukan jalan keluar. Yaitu, memalsukan darah segar dengan pati samak (getah samak yang berwarna merah mirip darah, red.). Untuk melaksanakan rencananya, segeralah mereka menebangi batang samak di sekitar tempat tersebut dan mengumpulkannya dalam sebuah wajan dan segera menyerahkannya ke keramat Bujang.
Tak lama kemudian datanglah roh Bujang dan memberi petunjuk agar menggali sebelah kiri kuburan tersebut. Sekitar tiga jam menggali tampak tutup tembikar yang tak lain dan tak bukan adalah tutup tempayan Bujang. Mereka pun segera melebarkan galian hingga akhirnya menemukan tempayan yang utuh dan mengikatkannya pada sebuah pikulan agar mudah diangkat. Setelah semuanya beres, dengan bersemangat, mereka langsung turun dari bukit itu.
Setibanya di Tebat Bedong, saking gembiranya, pemikul yang berada di depan berkata, "Eh, rupanya beliau yang di atas itu bisa juga dibohongi. Pakai pati samak pun kita dapat mengambil harta karunnya, tak perlu pakai darah segar segala."
Sekejap setelah pemikul di depan mengakhiri ucapannya, aneh bian ajaib, pengikat tempayan itu putus dan mengelinding ke atas bukit serta masuk kembali ke tempat semula. Sementara tanah bekas galian bergerak sendiri menutup lobang galian. Hingga saat ini tak satu pun ada yang berani meminta harta keramat Bujang tersebut.
Narasumber: Selimun, 61 tahun (1986), penduduk Desa Bantan Kecik.
Source :https://www.belitungtimur.com
UBB Perspectives
FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK
MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN
Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung
Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban
Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa
Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung
Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial
Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas
Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana
Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?
Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE
UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?
Peran Generasi Z di Pemilu 2024
Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi
Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung
Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?
Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong
Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental
Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia
Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK
HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?
Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?
Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum
SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi
Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru
Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi
PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)
Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan
PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA
Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi
Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan
SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?
KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA
Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus
Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai
Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi
Hybrid Learning dan Skenario Terbaik
NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN
Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu
PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN
Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi
Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital
Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB
TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA
Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai
ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)
PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit
NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU
Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???
Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers
POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka
Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu
Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka