+62 (0717) 422145 Senin-Jumat: 07.30 - 16.00 WIB
Link Penting UBB

Artikel UBB

Universitas Bangka Belitung's Article
19 Januari 2010 | 15:14:07 WIB


METODE COERCIVE INTERROGATION OLEH PEMERINTAH AMERIKA SERIKAT DI PENJARA GUANTANAMO DIHUBUNGKAN DENGAN KONVENSI ANTI PENYIKSAAN TAHUN 1984


Ditulis Oleh : Admin

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Pada saat ini banyak pihak yang menuntut kepada pemerintah Amerika Serikat untuk segera menutup penjara Guantanamo, karena banyak pihak yang menyatakan bahwa pemerintah Amerika Serikat menerapkan pola penyiksaan dan pemenjaraan yang diluar batas kemanusiaan. Sejak 2005, satu dokumen Departemen Kehakiman AS telah mensahkan dan membenarkan penggunaan teknik kekerasan dan yang mengakibatkan trauma dalam interogasi tersangka di dalam penjara Guantanamo.

Hampir semua penghuni penjara Guantanamo adalah tersangka kasus terorisme dari seluruh penjuru dunia, utamanya dari Saudi Arabia, Yaman, Pakistan, Afghanistan dan Syria, yang dianggap musuh dan mengganggu keamanan Amerika Serikat ). Tetapi yang perlu di tekankan adalah, mereka sebagai tahanan di dalam penjara Guantanamo masih sebagai tersangka terorisme, sehingga kebenarannya apakah mereka benar-benar sebagai pelaku terorisme masih menjadi pertanyaan. Penjara Guantanamo tidak hanya dipersiapkan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk menahan para tersangka terorisme saja, tetapi juga terhadap pihak-pihak yang oleh pemerintah Amerika Serikat dianggap membahayakan. Sebagian besar tersangka ditahan disana bertahun-tahun lamanya tanpa proses peradilan yang sah. Bahkan tanpa akses kepada penasehat hukum, keluarga, ataupun kepada badan badan internasional.

Para tahanan disana tidak dianggap Amerika Serikat sebagai tawanan perang, karena mereka dianggap bukan militer dari Negara lain yang sedang berseteru dengan Amerika Serikat. Per 10 Januari 2002 kamp ini mulai menerima tahanan yang dikategorikan Amerika Serikat sebagai `teroris` dan musuh dalam peperangan (enemy combatants) yang kemudian ditempatkan di tiga kamp masing masing Delta, Iguana dan X-Ray (belakangan ditutup). Sejak permulaan operasi `Enduring Freedom` di Afghanistan pada Oktober 2001 hingga kini, 775 orang telah ditahan di Guantanamo. Dari jumlah tersebut, 420 orang telah dilepaskan. Per 9 Agustus 2007 masih tersisa 355 tahanan. Dan per Januari 2008 ini masih tersisa 275 tahanan. Perlu diingat bahwa para tahanan yang berada di dalam Penjara Guantanamo juga termasuk orang-orang yang dituduh sebagai tersangka terorisme oleh pemerintah Amerika Serikat pasca agresi militer pemerintah Amerika Serikat ke Irak, sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian tahanan yang ditahan di Penjara Guantanamo juga termasuk pihak-pihak yang terlibat dalam suatu konflik bersenjata.

Penjara Guantanamo adalah sebuah penjara militer yang berada di pangkalan angkatan laut Amerika Serikat di Teluk Guantanamo. Di luar masalah legitimasi terhadap keberadaan penjara dan alasan penahanan, Guantanamo juga menyimpan cerita tentang penistaan dan penyiksaan terhadap tawanan yang terburuk yang pernah dilakukan Amerika Serikat, disamping yang pernah terjadi di penjara Abu Ghraib, Irak. Paling tidak ada delapan macam jenis penyiksaan (torture) yang terjadi di Guantanamo ). Hal ini diperburuk dengan otorisasi Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld pada 16 April 2003, dimana ia menyetujui dilaksanakannya 24 jenis teknik interogasi (Coercive Interrogation) hanya terhadap tahanan di Guantanamo. Hal ini juga diperjelas dengan pernyataan kenegaraan dari dewan kongres Amerika Serikat tentang pemberlakuan Coercive Interrogation terhadap tersangka terorisme. Jenis coercive Interrogation tersebut antara lain :
  1. Random punishment; penghukuman hanya untuk kesalahan yang sepele semisal menaruh handuk pada tempat yang salah ataupun meletakkan sendok dan garpu pada posisi yang salah;
  2. Forced Nudity; alias tahanan ditelanjangi secara paksa untuk kebutuhan interogasi;
  3. Cultural attacks; semisal penghinaan terhadap Al Qur`an, larangan membaca Al Qur`an, dan godaan secara seksual oleh interogator perempuan dengan cara meraba tahanan ataupun menari sensual di hadapan tahanan, juga dengan menghalangi tahanan mengambil air wudhu untuk shalat;
  4. False Location; dengan cara menipu tahanan seolah-olah ia berada di negara lain, padahal masih berada di kamp Guantanamo;
  5. Load Music, Strobe Light and Extreme Temperatures; tahanan disiksa dengan suara musik yang keras, cahaya yang sangat terang, dan suhu yang sangat panas sementara badannya ditutupi dengan bendera Israel;
  6. Sleep manipulation; tahanan diinterogasi paksa ketika tengah tidur nyenyak, dan sel tahanan dirancang sedemikian rupa sehingga tahanan tak dapat tidur nyaman;
  7. Violence; bukan cerita baru bahwa banyak tahanan di Guantanamo yang mengalami penyiksaan ketika tengah diinterogasi. Bentuk penyiksaan seperti pemukulan ataupun menyiram wajah dengan merica adalah sesuatu yang lazim terjadi;
  8. Isolation; tahanan ditahan dalam ruang isolasi, mereka dilarang bicara dan dibatasi pergerakannya di luar ruang tahanan, apakah dengan ditutup mata (blindfolded) ataupun diborgol pergelangan tangannya.
  9. Water Boarding; tahanan diikat di sebilah papan, tangan dan kakinya diikat tali. Kepalanya ditutup dengan karung atau kain. Lalu air disiramkan secara terus menerus ke wajah si tahanan (terrifying simulated drowning).


Akibat penyiksaan dan perendahan derajat kemanusiaan ini, banyak terjadi upaya mogok makan dan bunuh diri di kalangan tahanan. Empat orang sudah didapati tewas karena bunuh diri dan puluhan lainnya terus melakukan percobaan bunuh diri dan mogok makan.Terlalu banyak pelanggaran HAM dan penyiksaan yang terjadi disana yang melampaui batas kemanusiaan dan melanggar hukum internasional. Amerika Serikat adalah peserta (state party) dari Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture), Konvensi Geneva 1949 yang mengatur antara lain tentang perlakuan terhadap tawanan perang, dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang kesemuanya melarang penyiksaan dan perendahan martabat kemanusiaan atas alasan apapun. Bebas dari penyiksaan (freedom from torture) adalah bagian dari hak asasi manusia yang underogable (tak dapat diabaikan) dalam situasi apapun.

B. ANALISIS


1. Perbuatan Coercive Interrogation


Hukum Humanaiter Internasional tidak mengatur mengenai Coercive Interrogation. Di dalam Konvensi Jenewa tidak pernah disebutkan mengenai definisi dan pengaturan mengenai Coercive Interrogation. Menurut arti katanya, Coercive Interrogation adalah memaksa seseorang dengan tekanan untuk melakukan sesuatu dalam rangka memberikan pertanyaan-pertanyaan, dan di tujukan untuk mendapat pengakuan mengenai tindak kejahatan yang telah dilakukannya ). Sedangkan dalam Blacks Law Dictionary, Coercive Interrogation menurut arti katanya adalah :
(a) Coercion
compelling by force or arms or threat; it may be used actual, direct, as where phsyical force is used to compel act agints ones will, or implied, legal or constructive, as where one party is constrained by subjugation to other to do what his free will would refuse.Coercion that vitiates confession can be mental as well as physical, and question is wheter accused was deprived of his free choice to admit, deny, or refuse to answer ).

(b) Interrogation
process of questions propound by Police to person arrested or suspected to seek solution of crime. Such person is entitled to be inform of hi rights to have counsel presents, and the consequences of his answer. If a Police are failed or neglect to give these warnings, the question and answer are not admissible in evidence at the trial or hearing of the arrested person.

Suatu perbuatan dapat dikatakan Coercive Interrogation apabila di dalamnya terdapat :

(a) Adanya unsur paksaan atau kekerasan baik mental maupun fisik;
(b) Dalam rangka untuk mendapatkan informasi;
(c) Demi kepentingan keselamatan bersama.


Dalam perkembangannya Coercive Interrogation diberlakukan kepada teroris dimana dalam penerapannya tidak meruntut kepada hukum internasional yang belaku. Dalam Coercive Interrogation hak-hak para tawanan sangat dibatasi, bahkan ada beberapa hak yang sama sekali tidak diperkenankan, seperti hak untuk diam, hak untuk dikunjungi, hak untuk mendapatkan penjelasan, dan sebagainya . Pada esensinya Coercive Interrogation merupakan perlakuan terhadap seseorang oleh komandan, atau pejabat pemerintahan, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan tekanan dan paksaan .

Dalam FM 34-52 Departemen Pertahanan Amerika Serikat menyebutkan bahwa termasuk dalam kaitannya dengan mental coercion adalah penggunaan obat-obatan kepada para tahanan demi mendapatkan informasi dan pengakuan ). Dalam konteks hukum pidana, biasanya Coercive Interrogation adalah sebagai pertahanan terhadap tindak kejahatan atau sebagai bagian dari kejahatan itu sendiri, atau untuk mendapatkan pengakuan yang dapat digunakan di pengadilan.

Teknik interogasi dengan menggunakan Coercive Interrogation secara implisit diterapkan oleh pemerintah Amerika Serikat dalam CIA Manual Interrogation Technique, yaitu seluruh Coercive Interrogation adalah digunakan untuk mengurangi perlawanan dari para tahanan yang sedang di interogasi, dan agar dapat keterangan atau informasi atau pengakuan yang akurat dari para tahanan tersebut. Pada saat ini komite hak asasi manusia memprotes tentang penerapan Coercive Interrogation, karena menurut komite hak asasi manusia penggunaan teknik kekerasan dan paksaan dalam proses interogasi merupakan satu langkah lebih dekat dengan tindak penyiksaan, sementara penyiksaan merupakan kejahatan yang dilarang oleh hukum nasional dan internasional ).

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumya, Amerika Serikat telah menyatakan bahwa mereka menerapkan teknik interogasi dengan metode Coercive Interrogation yang memiliki spesialisasi tertentu terhadap pihak-pihak yang dianggap membahayakan negara tersebut. Dalam pemaparan sebelumnya juga dapat diketahui bahwa metode ini syarat akan unsur-unsur pemaksaan, kejam, dan perlakuan yang diluar batas-batas kemanusiaan, dimana hal tersebut bertentangan dengan Konvensi Jenewa. Dalam pembahasan ini penulis akan mengkaji bentuk perbuatan yang ada dalam metode tersebut dalam kaitannya dengan ketentuan yang ada di dalam Konvensi Anti Penyiksaan, dan melihat apakah perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan penyiksaan.Pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan telah mengatur definisi dari penyiksaan itu sendiri, sebagai berikut :

Untuk tujuan Konvensi ini, istilah penyiksaan berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meluputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.

Dalam hukum internasional, penyiksaan terjadi ketika seseorang dengan sengaja disakiti dengan parah atau dibuat menderita, biasanya dengan maksud untuk menghukum, mengintimidasi, memaksa, mendapatkan informasi ataupengakuan, atau dengan alasan apapun yang didasarkan atas diskriminasi ).

Unsur kekerasan, paksaan, perlakuan yang kejam dalam metode Coercive Interrogation dapat menimbulkan rasa sakit dan penderitaan yang hebat terhadap para tawanan di penjara Guantanamo. Bukan hanya secara fisik atau jasmani saja, adanya penghinaan terhadap budaya dan kebebasan beragama dari para tawanan juga merupakan siksaan terhadap rohani atau mental para tawanan. Meskipun dalam Pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan tidak menyebutkan definisi yang spesifik perbuatan-perbuatan seperti apa sajakah yang tergolong ke dalam suatu tindakan penyiksaan. Tetapi apabila tindakan tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang telah disebutkan dalam Pasal 1 tersebut, seperti perbuatan yang menimbulkan penderitaan dan rasa sakit yang hebat dan bertujuan untuk medapatkan informasi, maka perbuatan tersebut dapat digolongkan sebagai suatu tindakan penyiksaan menurut Konvensi ini. Disamping itu, suatu lembaga Hak Asasi Manusia Internasional (Human Rights Watch) dalam menyikapi keadaan yang terjadi terhadap para tahanan di dalam penjara Guantanamo, dan berdasarkan pengamatan mereka, telah mengumumkan beberapa metode Coercive Interrogation yang diberlakukan di penjara Guantanamo yang dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan penyiksaan seperti ; Beating; Sleep Deprivation;, Water Boarding; Humiliation; Denial of Food and Water; Stripping; Forced Painfull Position; Slapping; Solitary Confinement; yang semua tindakan tersebut diberlakukan di penjara Guantanamo dalam metode Coercive Interrogation.

Suatu bentuk tindakan penyiksaan biasanya terjadi pada saat penahanan dan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh informasi, pengakuan, atau sebagai hukuman terhadap para tahanan ). Pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan juga menyebutkan bahwa suatu tindakan penyiksaan dilakukan untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi.

Disebutkan juga dalam Pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan bahwa suatu perbuatan tergolong penyiksaan apabila apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa pemerintah Amerika Serikat telah secara resmi memberlakukan metode Coercive Interrogation
terhadap para pihak yang dianggap membahayakan negaranya. Presiden George W. Bush sudah berulang kali menyatakan pernyataan kenegaraannya yang membenarkan pemberlakuan metode ini di penjara Guantanamo. Sebelumnya juga telah terjadi bentuk perlakuan yang sama di Penjara Abu Ghraib yang kemudian ditutup atas kecaman masyarakat internasional karena dinilai terlalu kejam dan tidak manusiawi. Dalam laporan tahunan kongres Amerika Serikat juga dibenarkan tentang adanya perlakuan Sleep Deprivation; Water Boarding; dan Stress Position dalam metode Coercive Interrogation. Ditambah lagi dengan perlakuan-perlakuan lain yang dilakukan oleh pejabat-pejabat militer Amerika Serikat selama di penjara Guantanamo.

Ketika perlakuan tersebut datang dari pejabat publik negara, atau berupa pesetujuan, atau hanya sebatas sepengetahuan pejabat publik saja, maka jika perbuatan tersebut mengandung unsur kekerasan, membawa dampak penderitaan fisik dan mental terhadap tahanan, serta dengan tujuan untuk mendapatkan informasi, maka metode Coercive Interrogation tersebut telah memenuhi unsur-unsur Pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan dan dapat dikategorikan sebagai perbuatan penyiksaan. Suatu perlakuan atau perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu tindakan penyiksaan apabila menyebabkan penderitaan mental dan fisik terhadap orang lain atau sekelompok orang, dengan tujuan untuk mendapatkan informasi, intimidasi atau tekanan, hukuman, atau dengan alasan diskriminasi lainnya, dan dilakukan oleh pejabat publik yang memiliki kewenangan ).

Segala macam bentuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia dalam segala hal dan keadaan merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap hukum hak asasi manusia internasional. Metode Coercive Interrogation sangat memenuhi unsur-unsur pasal 1 Konvensi ini, dimana ketika suatu perbuatan telah memenuhi unsur-unsur dalam pasal ini maka, metode tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu tindak penyiksaan dan dilarang dibawah Konvensi ini. Dalam Pasal 2 ayat 2 Konvensi Anti Penyiksaan juga telah disebutkan bahwa:

Tidak terdapat pengecualian apapun baik itu dalam keadaan perang, atau ancaman perang, atau ketidakstabilan politik dalam negeri atau maupun keadaan darurat lainnya, yang dapat digunakan sebagai pembenaran penyiksaan.

Dengan begitu jelas bahwa meskipun Amerika Serikat dalam keadaan perang ataupun ancaman perang ataupun dalam keadaan darurat (State Emergency) tetap tidak ada alasan pembenar apapun untuk pemerintah Amerika Serikat untuk melakukan tindakan penyiksaan terhadap para tahanan di penajara Guantanamo. Dalam keadaan perang, atau keadaan dimana negara dalam keadaan darurat, setiap negara memiliki hak untuk mengesampingkan hak-hak orang lain tetapi hal tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang telah diatur dalam konvensi lain, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 4 Kovenan Internasional Hak-hak Sosial dan Politik ). Sehingga jelas bahwa, meskipun dalam keadaan perang atau dalam keadaan darurat setiap negara tetap tidak berhak untuk melaukan yindak penyiksaan sebagaimana yang telah diatur dan dilarang dalam Konvensi Anti Penyiksaan.

2. Akibat Hukum Yang Diterima Oleh Negara Pelaku Coercive Interrogation Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional


Dalam pembahasan sebelumnya terbukti bahwa Amerika Serikat telah menerapkan metode Coercive Interrogation dimana metode tersebut mengandung unsur penyiksaan sebagaimana yang telah diatur dalam Konvensi Anti Penyiksaan, dan terlebih lagi merupakan pelanggaran terhadap Hukum Humaniter Internasional. Pelanggaran terhadap kaidah-kaidah hukum internasional tersebut menimbulkan tanggung jawab negara ) dan atas tanggung jawab tersebut terdapat akibat hukum terhadap Negara tersebut.

Pelanggaran oleh suatu Negara atas kewajiban internasional yang menyangkut kepentingan fundamental masyarakat internasional diakui sebagai bentuk Kejahatan Internasional dan pelanggaran tersebut diakui sebagai kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut secara keseluruhan ), dan salah satunya yang tergolong ke dalam kejahatan internasional adalah bentuk pelanggaran serius berskala besar terhadap kewajiban internasional berkenaan dengan pentingnya perlindungan pengamanan umat manusia ). Dan pelanggaran tersebut tetap menimbulkan pertanggung jawaban terhadap negara pelaku walaupun bentuk pelanggaran tersebut sah menurut hukum nasionalnya. Tanggung jawab negara ini tidak hanya timbul dari pelanggaran kontraktual antar dua negara saja, melainkan atas adanya pelanggaran-pelanggaran terhadap suatu ketentuan hukum internasional yang dilakukan oleh pejabat negara (State Official). Hal ini diatur dalam Draft ILC Pasal 7, dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan oleh pejabat negara (State Official) dan atas jabatannya, maka Negara juga turut bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut.

Sesuai dengan doktrin Imputabilitas (Imputability doctrine) dimana negara bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah; setiap sub-divisi politik dari negara; setiap lembaga, pejabat perwakilan resmi atau pewakilan lain pemerintahannya atau setiap sub-divisi yang bertindak dalam lingkup pekerjaan mereka ). Jadi, ketika Amerika Serikat menerapkan metode interogasi dengan cara Coercive Interrogation yang sah menurut hukum nasional Amerika Serikat, namun apabila metode tersebut merupakan pelanggaran terhadap kaidah-kaidah Hukum Humaniter Internasional dan kaidah Hukum Internasional lainnya, maka tetap menimbulkan tanggung jawab bagi negara Amerika Serikat terhadap pelanggaran yang telah dilakukan tersebut.

Amerika Serikat merupakan salah satu negara pihak Peserta Agung Konvensi Jenewa dan telah meratifikasi Konvensi Jenewa, dimana ketika suatu negara telah menyatakan terikat dengan suatu traktat internasional, maka negara tersebut telah terikat dengan segala macam ketentuan dalam traktat tersebut. Hal ini sesuai dengan asas perjanjian internasional yaitu Pacta Sunt Servada, yang menyebutkan bahwa ketentuan dalam suatu perjanjian internasional maka berlaku dan mengikat sebagai undang-undang bagi negara yang meratifikasinya ).

Sejalan dengan pengertian tersebut, maka sudah jelas bahwa ketentuan dalam Konvensi Jenewa berlaku sebagai undang-undang terhadap Amerika Serikat, dan Amerika Serikat berkewajiban untuk mematuhi ketentuan dalam Konvensi Jenewa. Dalam ketentuan umum Pasal 1 Konvensi Jenewa III telah disebutkan bahwa para pihak Peserta Agung telah berjanji untuk menghormati dan menjamin penghormatan Konvensi ini dalam segala keadaan.

Dalam artikel tersebut secara tegas dinyatakan bahwa pihak Peserta Agung tidak hanya akan menghormati Konvensi ini, tetapi juga akan menjamin bahwa Konvensi ini akan dihormati; dengan perkataan lain, suatu Negara tidak cukup hanya dengan memerintahkan kepada para petugas militer atau sipil untuk mentaati Konvensi, tetapi juga harus mengawasi pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan tersebut. Penghormatan tersebut tidak hanya cukup dengan tidak melakukan pelanggaran terhadap Konvensi saja, melainkan juga mengambil tindakan-tindakan yang perlu terhadap pelanggaran-pelanggaran yang telah terjadi termasuk dalam lapangan hukum nasional dari negara tersebut ).

Dalam penjabaran sebelumnya telah terbukti bahwa metode Coercive Interrogation yang dilakukan Amerika Serikat di penjara Guantanamo merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa. Adanya unsur kekerasan, paksaan, hingga kepada bentuk perlakuan penyiksaan membuat metode tersebut bertentangan dengan apa yang telah diatur dalam Konvensi Jenewa khususnya hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan dan perlakuan terhadap tahanan. Dalam Pasal 129 Konvensi Jenewa III mengatur tentang kewajiban negara untuk menerbitkan peraturan yang berkaitan dengan persoalan ini, serta berkewajiban untuk mencari, menangkap, dan mengadili pelaku pelanggaran terhadap ketentuan dalam Konvensi ini; sebagaimana yang diatur pula di dalam Pasal 142 Konvensi Jenewa IV.

Dengan begitu jelas bahwa Amerika Serikat bertanggung jawab atas pelanggaran terhadap hukum humaniter yang terjadi dalam metode Coercive Interrogation dengan cara mencari, menangkap, serta mengadili pihak-pihak yang berkaitan dengan pelanggaran tersebut. Jika perbuatan tersebut dilakukan oleh pejabat pemerintahan Amerika Serikat maka dengan prinsip Imputabilitas, atas nama negara Amerika Serikat tetap bertanggung jawab atas kejahatan perang tersebut. Dan apabila kejahatan tersebut dilakukan oleh pelaku atas otoritas dari pejabat diatasnya, maka akan berlaku prinsip tanggung jawab komando, sehingga sekalipun ia sebagai Presiden atau pejabat militer lainnya tetap dapat diadili berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Amerika Serikat bertanggungjawab penuh atas segala macam pelanggaran yang terjadi di dalam penjara Guantanamo, khususnya mengenai tindakan penyiksaan yang dilakukan dalam metode Coercive Interrogation terhadap tahanan. Pertanggungjawaban dari tindak kekerasan ini tidak cukup hanya berhenti pada penutupan penjara tetapi harus diikuti dengan proses hukum terhadap para pelaku, atasannya dan pengambil kebijakan dari tindakan penahanan sewenang-wenang dan penyiksaaan ini. Karena para tahanan inipun sebelumnya tidak pernah melalui proses hukum yang kompeten dan independen.

Amerika Serikat bertanggung jawab untuk segera menghentikan segala macam pelanggaran yang terjadi di penjara Guantanamo, termasuk menghentikan penggunaan metode Coercive Interrogation terhadap para tahanan yang mengandung unsur penyiksaan dan perlakuan lain yang diluar batas-batas kemanusiaan. Serta bertanggung jawab untuk segera menangkap dan mengadili semua pihak yang bertanggungjawab atas pelanggaran dalam metode tersebut. Apabila pemerintah Amerika Serikat tidak melakukan kewajibannya atas pelanggaran tersebut, maka negara yang merasa dirugikan atau merasa bahwa warga negaranya telah menjadi korban atas tindakan penyiksaan tersebut dapat mengajukan tuntutannya ke Mahkamah Internasional (ICJ) terhadap kelalaian Amerika Serikat tersebut.

Metode Coercive Interrogation dilakukan oleh pejabat militer Amerika Serikat di penjara guantanamo dan atas otorisasi dari Presiden G.W. Bush .124 Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, bahwa negara memiliki kewajiban untuk menangkap dan mengadili pelaku pelanggaran terhadap ketentuan yang ada dalam Konvensi Jenewa. Dalam hukum humaniter internasional juga dikenal adanya prinsip tanggung jawab komando, dimana seorang komando berkewajiban untuk mencegah bahkan menghukum serta melaporkan kepada pihak yang berwenang mengenai pelanggaran terhadap Konvensi ini ).

Serta kelalaian seorang komando dalam melakukan tindakan terhadap pelanggaran yang terjadi juga menimbulkan pertanggungjawaban atas kelalaiannya tersebut. Hal tersebut diatur dalam Pasal 7 ayat 3 ICTY, bahwa kelalaian untuk mengambil tindakan atas pelanggaran yang telah dilakukan oleh bawahan yang seharusnya diketahuinya, atau telah diketahuinya tetap menimbulkan pertanggungjawaban komando di depan hukum. Sebagaimana yang telah terjadi dengan salah satu pejabat militer Amerika Serikat yaitu, Donald Rumsfeld, dimana ia di pidana karena terbukti telah memberikan otorisasi kepada bawahannya untuk melakukan metode Coercive Interrogation yang mengandung unsur-unsur penyiksaan terhadap tahanan.

Atas kewenangannya tersebut Donald Rumsfeld dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap kebiasaan dan hukum perang, terutama pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa. Terlebih lagi, ia juga telah terbukti melakukan penyiksaan pada saat interogasi kepada tahanan Iraq, Hamdan a Yemeni, seorang prajurit Iraq. Namun dari sekian banyak pejabat militer Amerika Serikat yang telah melakukan tindakan Coercion, hanya Donald Rumsfeld yang ditahan dan diadili, sedangkan yang lainnya tidak. Padahal mereka terbukti telah melakukan ataupun memberikan kewenangan untuk melakukan coercvie interrogation kepada tahanan di penjara Guantanamo.

Berdasarkan prinsip tanggung jawab komando Presiden George W. Bush juga tidak terlepas dari anggung jawab pidana atas otorisasinya terhadap bawahannya untuk melakukan metode Coercive Interrogation kepada tahanan. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat 2 statuta ICTY, bahwa meskipun menjabat sebagai pejabat pemerintahan, atau kepala negara sekalipun, dan pihak yang bertanggung jawab atas suatu lembaga pemerintahan, tidak melepaskan dirinya dari pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran internasional yang telah dilakukannya. Terhadap Presiden George W. Bush, jabatan kepresidenan yang dimilikinya tidak menimbulkan kekebalannya terhadap hukum dan tidak melepaskannya terhadap pertanggungjawaban pidana terhadap pelanggaran kemanusiaan yang telah terjadi. Ia tetap dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas otorisasinya sebagai Presiden dengan memberikan kewengan kepada bawahannya untuk menerapkan metode Coercive Interrogation dimana metode tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap ketentuan dalam Konvensi Jenewa dan Konvensi Anti Penyiksaan, serta kaidah-kaidah hukum internasional lainnya yang berkaitan dengan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

C. KESIMPULAN


Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa :
  1. Bentuk perbuatan dalam metode Coercive Interrogation seperti Beating; Sleep Deprivation;, Water Boarding; Humiliation; Denial of Food and Water; Stripping; Forced Painfull Position; Slapping; Solitary Confinement; telah memenuhi unsur Pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan dimana perbuatan tersebut termasuk ke dalam bentuk penyiksaan terhadap seseorang dan dilarang dibawah Konvensi ini. Meskipun Konvensi Anti Penyiksaan tidak menyebutkan secara spesifik bentuk-bentuk perbuatan apa saja yang dapat digolongkan sebagai bentuk tindakan penyiksaan menurut Konvensi ini, tetapi dengan melihat unsur-unsur penyiksaan dalam Pasal 1 Konvensi ini, maka perbuatan tersebut tergolong sebagai suatu bentuk penyiksaan. Berdasarkan Pasal 2 ayat 2 Konvensi Anti Penyiksaan, bahwa dalam keadaan apapun tidak ada alasan pembenar untuk melakukan penyiksaan terhadap orang lain. Begitupun dengan Amerika Serikat, meskipun mereka dalam keadaan darurat ataupun perang, tetap tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk melakukan penyiksaan terhadap tahanan.

  2. Metode Coercive Interrogation merupakan bentuk pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa, Konvensi Anti Penyiksaan, dan kaidah-kaidah hukum internasional lainnya. Dan ketika Amerika Serikat menerapkan metode tersebut di dalam penjara Guantanamo, maka Amerika Serikat telah melakukan pelanggaran hukum internasional. Hal ini mengakibatkan Amerika Serikat bertanggung jawab atas segala pelanggaran yang telah dilakukan kepada tahanan di penjara Guantanamo, khususnya mengenai perlakuan terhadap tahanan. Pertanggungjawaban dari tindak kekerasan ini tidak cukup hanya berhenti pada penutupan penjara tetapi harus diikuti dengan proses hukum terhadap para pelaku, atasannya dan pengambil kebijakan dari tindakan penahanan sewenang-wenang dan penyiksaaan ini. Karena para tahanan inipun sebelumnya tidak pernah melalui proses hukum yang kompeten dan independen.





Written By : Balian Siblun, S.H.,M.H
Pengamat Hukum
Putra Daerah Bangka Belitung Di Bandung
Website : https://balianzahab.wordpress.com





UBB Perspectives

Juga Untuk Periode Berikut

Untuk Periode Berikut

Stereotipe Pendidikan Feminis

Urgensi Perlindungan Hukum Dan Peran Pemerintah Dalam Menangani Pekerja Anak Di Sektor Pertambangan Timah

Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat Asal Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) yang Berpotensi Sebagai Probiotik

Pemanfaatan Biomikri dalam Perlindungan Lingkungan: Mengambil Inspirasi dari Alam Untuk Solusi Berkelanjutan

FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK

MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN

Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung

Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban

Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa

Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung

Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial

Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas

Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana

Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?

Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?

PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE

UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?

Membangun Kepercayaan dan Kesadaran Masyarakat Dalam Membayar Pajak Melalui Peningkatan Kualitas Pelayanan Serta Transparansi Alokasi Pajak

Peran Generasi Z di Pemilu 2024

Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi

Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung

Peran Pemerintah Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Protein Hewani Melalui Pemanfaatan Probiotik dalam Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit (Siska)

TIMAH “BERPERI”

Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?

Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong

Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental

Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia

Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK

HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?

Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?

Jalan Ketiga bagi Sarjana

Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum

SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM

Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi

Merebut Hati Gen Z

Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru

Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi

PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)

Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan

PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA

Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi

Xerosere* Bangka dan UBB

Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan

SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?

RELASI MAHA ESA DAN MAHASISWA (Refleksi terhadap Pengantar Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum)

KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA

Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus

Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai

Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi

Hybrid Learning dan Skenario Terbaik

NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN

Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu

PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN

Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi

Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital

Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB

TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA

TATAP MUKA

Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai

MENJAGA(L) LINGKUNGAN HIDUP

STOP KORUPSI !

ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)

KARAKTER SEPERADIK

SELAMAT BEKERJA !!!

ILLEGAL MINING

Pers dan Pesta Demokrasi

PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

GENERASI (ANTI) KORUPSI

KUDETA HUKUM

Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit

NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU

Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???

Memproduksi Kejahatan

Potret Ekonomi Babel

Dorong Kriminogen

Prinsip Pengelolaan SDA

Prostitusi Online

Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers

JUAL BELI BERITA

POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN

Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka

Budidaya Ikan Hias Laut

Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu

KEPUASAN HUKUM

JANGAN SETOR KE APARAT

JAKSA TIPIKOR SEMANGAT TINGGI

Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka

GRAND DESIGN KEPENDUDUKAN (Refleksi Hari Penduduk Dunia)

Berebut Kursi Walikota