+62 (0717) 422145 Senin-Jumat: 07.30 - 16.00 WIB
Link Penting UBB

Artikel UBB

Universitas Bangka Belitung's Article
03 Januari 2012 | 16:27:00 WIB


Lorong Gelap Penegakan Korupsi


Ditulis Oleh : Faisal

Era reformasi menjadi petanda bahwa bangsa ini mulai berhitung kembali terhadap jalan panjang untuk hidup bernegara. Seakan reformasi mengajak pikiran bangsa untuk terus mengawal arti merdeka dari watak penjajah. Derita rakyat yang berawal dari siksaan oligarki kekuasaan rezim orde baru kemudian berujung pada penciptaan sistem kekuasaan oleh rakyat sendiri yang bernama "era reformasi". Tak dapat dipungkiri bahwa reformasi merupakan karya nyata kehendak rakyat untuk bahagia, adil dan makmur. Meskipun kita tahu, mereformasi penyakit Indonesia tak bisa hanya berfikir parsial, seyogjanya mesti integral. Bila itu tidak dilakukan, Indonesia merupakan contoh yang apik sangat sulit untuk sampai pada cita-cita reformasi. Bukannya reformasi terlahir karena rasa sensitifitas terhadap rezim orde baru yang begitu korup. Sehingga sistem yang korup melahirkan problem ikutan, seperti birokrasi yang menghamba pada sistem ekonomi kapitalistik, demokrasi tersandera arogansi penguasa, ketimpangan sosial, watak produk hukum tak responsif dan kebijakan publik tanpa partisipasi masyarakat.

Dengan begitu masalah pokok bangsa ini adalah perilaku koruptif yang sudah sistemik. Tentu beban berada di pundak hukum untuk keluar dari perilaku koruptif. Harapan bangsa akan menuai hasil bila hukum mampu mereformasi dirinya. Tidak dapat berharap banyak kepada hukum yang lahir dari sentuhan kekuasaan yang korup. Walaupun kita mesti memberikan apresiasi terhadap reformasi yang mampu melahirkan mesin pembasmi korupsi yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tapi reformasi juga memiliki anomali (penyimpangan) terhadap subtansi hukum yang tak pro terhadap komitmen pemberantasan korupsi. Sebut saja, lahirnya Undang-Undang No 32 Tahun 2004 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) menjadi lorong gelap dalam upaya pemberantasan korupsi.

UU Pemda khusus pada Pasal 36, merupakan celah untuk mengisolasi kekuasaan dari sentuhan hukum. Bagamaina tidak, dengan hadirnya Pasal 36 tersebut membuat kepala daerah/wakil kepala daerah mendapat perlakuan khusus ketika ia terduga melakukan tindak pidana korupsi. Sebab untuk dimulainya proses penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi wajib mendapat izin atau persetujuan dari Presiden.

Ijin Presiden akan sangat mengganggu agenda pemberantasan korupsi. Secara norma, ketentuan dalam Pasal 36 UU Pemda tersebut memiliki prosedur izin yang berlapis. Akibatnya, proses penegakan hukum yang seharusnya dilaksanakan dengan cepat dan sederhana sulit terwujud. Pendapat tersebut pernah terlontar ketika pihak Litbang Kejaksaan Agung meminta penulis untuk menjadi responden dalam kegiatan penelitian terkait Pasal 36 tersebut. Pihak kejaksaan merasa dihambat dalam melakukan pemberantasan korupsi dengan adanya prosedur izin ke Presiden ketika ada pihak kepala daerah/wakil kepala daerah terindikasi melakukan korupsi. Itulah yang penulis sebut tadi bahwa hukum belum sepenuhnya mereformasi dirinya dalam mempersiapkan melawan kekuasaan yang korup.

Pasal 36 Menerobos Asas


Sejatinya asas dapat menjadi kaidah penuntun dalam mengoperasikan hukum. Terkadang asas juga dijadikan sebagai kerangka pikir dalam mereformulasi norma hukum dalam setiap undang-undang. Jika, cara kita berhukum selalu menempatkan asas sebagai asesoris semata, maka hukum mesti keluar dari orientasi awalnya. Karena asas, merupakan pondasi yang membuat hukum menjadi kokoh sekalipun ada perbaikan pada bagian-bagian lainnya.

Keberadan Pasal 36 dalam UU Pemda seakan bocah yang berjalan tanpa ada yang menuntun. Alhasil, bocah itu binggung, tak jarang menjerit tanpa dapat dimengerti apa maunya. Tentu dalam hal ini, asas equality before the law (persamaan di depan hukum) dan asas contante justitie (peradilan cepat, sederhana dan biaya murah) dapat menjadi penuntun untuk mengoreksi keberadaan Pasal 36.

Koreksi dan kritik pada Pasal 36 yang mengharuskan izin berlapis ketika kepala daerah/wakil kepala daerah melakukan korupsi justru tidak sejalan dengan prinsip bahwa semua orang memiliki pengakuan serta persamaan di muka hukum (asas equality before the law). Bagaimana bisa pengakuan serta persamaan dapat terwujud bila Pasal 36 menjadi tembok yang begitu kokoh, justru akan melahirkan ketidaksamaan dihadapan hukum.

Kemudian keberadaan Pasal 36 berpotensi mengganggu harapan upaya efektivitas peradilan yang cepat (asas contante justitie). Sebagaimana dalam praktiknya, terkadang izin yang dimintakan tidak pernah ada jawabannya. Sehingga, penanganan perkara menjadi tidak jelas dan terkatung-katung penyelesaiannya. Artinya, harapan publik degan proses peradilan cepat terhadap perkara korupsi sulit dapat terwujud ketika Pasal 36 masih dipertahankan. Lebih parah lagi, ketentuan Pasal 36 sangat berpotensi disalahgunakan. Salah satunya disebabkan tidak adanya mekanisme kontrol terhadap proses perizinannya. Hal itu merupakan bentuk nyata lorong gelap dalam penegakan korupsi.

Jalan Keadilan di Mahkamah Konstitusi


Semoga Mahkamah Konstitusi (MK) dapat menjadi rumah keadilan bagi komitmen pemberantasan korupsi. Penggiat anti korupsi tidak diam melihat kenyataan ini. Mereka Teten Masduki (TI), Zainal Arifin Mochtar (Pukat UGM), Danang Widoyoko (ICW) dan Saldi Isra (Guru Besar Andalas) melakukan judicial review terhadap Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Upaya tersebut mendapat dukungan oleh Kejaksaan Agung, dikarenakan Pasal 36 mempersempit upaya kejaksaan dalam mengungkap kejahatan korupsi, walaupun Pasal 36 itu tidak berlaku untuk KPK.

Sebagaimana dalam criminal justice system penegakan hukum tak bisa dilakukan dengan pendekatan sektoral, diperlukan upaya integratif dalam rangka memperkuat sistem penegakan kejahatan korupsi. Bila MK berani membatalkan Pasal 36, hal ini menunjukkan MK sedang mengajarkan bahwa menegakkan hukum tidak keluar dari kaidah penuntun, yaitu konstitusi dan asas. Terlebih lagi MK mesti memperhatikan penegakan hukum yang tidak terkesan compang-camping, misal kewenangan yang berbeda antara polisi-jaksa dan KPK dalam penangan kasus korupsi. Sementara UU Tipikor berkata korupsi sebagai extra ordinary crime (kejatahan luar biasa). Dimana letak keluarbiasaan kasus korupsi bila ia menghadang terwujudnya asas equality before the law dan asas contante justitie. Semoga MK benar-benar menjadi jalan keadilan bagi agenda reformasi hukum di bidang penegakan korupsi.

Opini Babel Pos, Selasa (3/1)




Penulis : Faisal
Dosen FH UBB dan PW Pemuda Muhammadiyah






UBB Perspectives

Juga Untuk Periode Berikut

Untuk Periode Berikut

Stereotipe Pendidikan Feminis

Urgensi Perlindungan Hukum Dan Peran Pemerintah Dalam Menangani Pekerja Anak Di Sektor Pertambangan Timah

Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat Asal Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) yang Berpotensi Sebagai Probiotik

Pemanfaatan Biomikri dalam Perlindungan Lingkungan: Mengambil Inspirasi dari Alam Untuk Solusi Berkelanjutan

FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK

MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN

Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung

Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban

Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa

Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung

Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial

Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas

Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana

Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?

Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?

PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE

UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?

Membangun Kepercayaan dan Kesadaran Masyarakat Dalam Membayar Pajak Melalui Peningkatan Kualitas Pelayanan Serta Transparansi Alokasi Pajak

Peran Generasi Z di Pemilu 2024

Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi

Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung

Peran Pemerintah Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Protein Hewani Melalui Pemanfaatan Probiotik dalam Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit (Siska)

TIMAH “BERPERI”

Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?

Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong

Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental

Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia

Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK

HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?

Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?

Jalan Ketiga bagi Sarjana

Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum

SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM

Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi

Merebut Hati Gen Z

Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru

Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi

PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)

Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan

PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA

Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi

Xerosere* Bangka dan UBB

Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan

SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?

RELASI MAHA ESA DAN MAHASISWA (Refleksi terhadap Pengantar Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum)

KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA

Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus

Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai

Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi

Hybrid Learning dan Skenario Terbaik

NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN

Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu

PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN

Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi

Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital

Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB

TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA

TATAP MUKA

Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai

MENJAGA(L) LINGKUNGAN HIDUP

STOP KORUPSI !

ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)

KARAKTER SEPERADIK

SELAMAT BEKERJA !!!

ILLEGAL MINING

Pers dan Pesta Demokrasi

PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

GENERASI (ANTI) KORUPSI

KUDETA HUKUM

Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit

NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU

Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???

Memproduksi Kejahatan

Potret Ekonomi Babel

Dorong Kriminogen

Prinsip Pengelolaan SDA

Prostitusi Online

Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers

JUAL BELI BERITA

POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN

Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka

Budidaya Ikan Hias Laut

Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu

KEPUASAN HUKUM

JANGAN SETOR KE APARAT

JAKSA TIPIKOR SEMANGAT TINGGI

Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka

GRAND DESIGN KEPENDUDUKAN (Refleksi Hari Penduduk Dunia)

Berebut Kursi Walikota