Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) Dr Ir Ismed Inonu (kiri) berserta anggota Gapoktan menaman Varietas Sulutan Unsrat 1 dan Situ Bagendit di petak percontohan padi sawah KKN UBB Angkatan ke 12 di lahan persawahan Gapoktan Balunijuk, Merawang, Bangka.
BALUNIJUK, UBB -- Petani padi sawah di Desa Balunijuk, Merawang, mengeluhkan sejumlah persoalan terkait dengan kondisi lahan, varietas dan hama persawahan mereka. Untuk menjawab persoalan itu, 38 mahasiswa KKN UBB membuat ‘demo-plot’ (petak percontohan) dengan menanam varietas Sulutan Unsrat 1 dan Situ Bagendit.
“Melalui petak percontohan seluas 2.500 meter persegi ini, kami nanti dapat mengetahui kesesuaian varietas terhadap kondisi lahan, pengelolaan lahan berupa pemupukan, pengairan, hingga produksi gabah dan jenis hama penyakit,” tukas Khariski Aprilianda, Wakil Ketua KKN UBB Balunijuk, Jumat (18/08/2017) siang.
Menurut Aprilianda, demplot yang dikelola mahasiswa KKN UBB terdiri dari dua petak sawah. Masing-masing dengan panjang 50 dan lebar 20 meter. Satu petak sengaja ditanam Varietas Sulutan Unsrat 1 dengan teknik penanaman ‘Jajar Legowo’ (4:1). Petak lainnya ditanami Varietas Situ Bagendit dengan teknik penanaman Sistem Tugal.
“Kami dipinjami lahan oleh Gapoktan seluas 1,2 hektar, dari luas lahan sawah mereka seluruhnya 193 hektar. Namun hanya seperempat hektar saja kami gunakan sebagai lahan percontohan atau demplot,” terang Khariski Aprilianda, didampingi Selly Regita, keduanya mahasiswa Program Studi Agroteknologi UBB.
Sementara itu ditempat terpisah, Ketua KKN UBB Balunijuk, Janovan, menjelaskan lahan demplot itu sebelum dibersihkan dan diolah mahasiswa, masih terdapat sejumlah tunggul kayu, sisa-sisa akar dan beberapa potongan kayu.
“Untuk membentuk lahan sawah siap tanam, kami harus kerja keras. Perlu waktu selama tiga minggu untuk membersihkan dan menggemburkan lahan. Kami menggunakan traktor tangan milik Gapoktan,” ujar Janovan, mahasiswa Prodi Sosiologi Fisip UBB.
Sebelumnya, Jumat pagi, 38 mahasiswa KKN UBB bersama Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Dosen Pembimbing Lapangan (DPL), pemdes dan perwakilan dari dinas pertanian Bangka, menanam benih padi varietas Sulutan Unsrat 1 dan Situbegendit di areal petak pecontohan padi sawah yang dikelola mahasiswa KKN UBB.
Sebelum turun ke demplot menanam benih, mahasiswa KKN UBB menggelar diskusi bersama Gapoktan membahas teknis pengelolaan padi sawah, dengan pembicara Dr Ir Ismet Inonu dan Dr Eries: keduanya merupakan DPL KKN UBB.
Dalam diskusi yang dipandu oleh Selly Regita, sejumlah petani mengeluhkan masalah mereka hadapi, seperti biaya pengolahan sawah per hektar yang mencapai Rp 12 juta, produksi padi tergolong rendah, kadar pirit yang tinggi, serangan hama burung secara masif dan pupuk subsidi tidak efektif terhadap tanaman.
Sofyan -- salah seorang petani Gapoktan -- mengeluhkan tingginya zat besi atau pirit di lahan sawah mereka. Hal ini mengakibatkan panen padi mereka belum memuaskan dibanding besarnya tenaga dan biaya yang dicurahkan ke dalam usaha padi sawah.
“Kendati demikian, kami tetap semangat mengelola sawah kami ini. Apalagi pekerjaan kami ini ‘kan petani. Kami memikirkan masa depan anak-cucu kami 20 hingga 30 tahun ke depan. Nah, keberadaan UBB sangat kami harapkan untuk mendapatkan cara mengatasi pirit,” ujar Sofyan.
Biaya Produksi Sangat Tinggi
Sementara itu Hasanudin -- juga petani sawah Balunijuk -- meminta Dinas Pertanian Bangka untuk mencari bibit dari varietas unggul, sehingga petani dapat memanen padi dalam jumlah besar, dengan itu petani memperoleh pendapatan di atas biaya produksi yang telah mereka keluarkan.
“Biaya pokok produksi setiap satu hektar sawah di sini sekitar Rp 12 juta. Sejauh ini, produksi padi yang saya peroleh sekitar tiga ton per hektar. Saya khawatir dengan produksi padi yang rendah itu akan mempengaruhi semangat kawan-kawan di sini,” tukas Hansanudin.
Ia juga memaparkan pupuk yang diberikan dinas tidak begitu besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan padi yang mereka tanam. Sebaliknya ketika ia memberikan pupuk ZP, Urea dan Za yang sengaja ia beli dari pasar, berpengaruh besar dalam pertumbuhan tanaman padi.
“Pupuk itu memberikan hasil yang cukup bagus. Tapi harganya lumayan mahal: Rp 250 ribu per karung,” tukas Hasanudin, menambahkan upah ‘nandur’ (singkatan: menanam benih dengan cara mundur) per orang Rp 100.000.
Selain itu, Hasanudin juga menjelaskan hama burung terkategori luar biasa ketika menyerang padi petani yang sedang menguning. Petani sejauh ini tidak mampu menghalau ‘serbuan’ burung Prit itu. Akibatnya banyak petani kewalahan dan meninggalkan sawahnya begitu saja.
“Saya misalnya, punya sawah cukup luas. Tapi karena tak mampu mengusir burung Prit itu, akhirnya hanya fokus di petakan sawah seluas 20 kali 60 meter saja,” terang Hasanudin.
Eries yang meraih gelar doktor setelah meneliti padi selama enam tahun menegaskan, setiap lahan untuk ditanami padi sawah itu menghendaki varietas yang berbeda. Dengan kata lain, untuk lahan sawah di Balunijuk yang mengandung pirit tinggi, menghendaki varietas padi yang sesuai dengan kondisi lahan tersebut.
“Artinya, untuk lahan persawahan di Balunijuk yang pH-nya rendah dan sarat pirit, harus dicari varietas padi yang tahan dengan kondisi tersebut. Biasanya, varietas lokallah yang sesuai, seperti Varietas Banyuasin. Atau varietas lain yang setelah berkali-kali ditanam, mampu menyesuaikan dengan kondisi pH rendah dan sarat piti tersebut,” ulas Eries.
Mengenai cara mengusir hama burung, Eries yang adalah Kepala Jurusan Agroteknologi UBB ini menganjurkan petani menggunakan racun burung. Meski hal itu ia akui dapat mengganggu kesehatan karena mengandung zat kimia.
“Walau itu dapat mengganggu kesehatan, gunakanlah racun burung. Pilihan lain, denga cara memasang jaring, tapi ‘kan banyak diperlukan dan mahal biayanya,” ujar Eries.
Sementara itu Ismed yang adalah juga dosen Prodi Agroteknologi mengakui bahwa investasi awal untuk padi sawah itu cukup mahal. Diperlukan biaya cukup besar untuk sejumlah kegiatan, seperti pengolahan lahan, pembenihan, pemupukan dan perawatan dan panen.
“Apalagi bahan organik di lahan sawah itu belum terlalu baik; di antaranya masih banyak pasir. Cara untuk mengurangi biaya produksi, antara lain dengan memberikan subsidi untuk beberapa komponen produksi,” terang Ismed.
Mengenai kandungan pirit, Ismed menjelaskan pirit berada di bawah lahan setelah diolah (antara lain dengan dicangkul) akan naik ke permukaan dan teroksidasi. Cara mengurangi pirit -- yang berasal dari unsur besi – lanjut Ismed, antara lain dengan ‘mencuci’ lahan tersebut melalui air yang mengalir.
“Kalau kita berikan pupuk tapi tidak bereaksi positif terhadap tanaman, itu berarti pupuk tidak dapat diikat oleh lahan. Maka berikan pupuk kompos, karena pirit mengikat kompos. Kalau pupuk asli tidak merespon, itu berarti ada masalah di lahan tersebut,” ulas Ismed.
Ia menambahkan rumus atau formula pemberian pupuk di satu lahan, tidak dengan sendirinya bisa dipakai seratus persen bila diterapkan di lahan lainnya.
“Artinya rumus pemberian pupuk di lahan sawah di Jawa, tidak bisa digunakan di lahan sawah kita ini. Harus dicari sendiri rumusnya,” tegas Ismed.
Sementara Indra Ferianto, salah seorang Penyuluh Petani Lapangan (PPL), mengakui investasi awal pada lahan padi sawah baru dua kali lebih besar ketimbang sawah yang sudah jadi.
Tapi menurut Indra -- yang mengaku sudah mengunjungi sejumlah sentra padi di Pulau Bangka --, persoalan perpadian di lahan yang sudah lama, semisal Rias-Toboali (sawah di sana dicetak pada tahun 1992), beberapa di antaranya sama seperti apa yang dialami pada lahan yang baru.
“Subsidi dari pemerintah sudah diberikan, dalam bentuk benih dan pupuk. Lahan juga telah disediakan pemerintah. Memang benar kita (pemerintah-red) hanya menyediakan benih tertentu, dalam jumlah lebih banyak,” ujar Indra.
Menanggapi permintaan petani terhadap UBB dalam mengatasi masalah mereka, Eries menegaskan meskipun KKN UBB berakhir tanggal 21 Agustus, tapi UBB tetap akan menerjunkan sejumlah mahasiswanya untuk praktik lapangan di persawahan Balunijuk (Eddy Jajang Jaya Atmaja)