+62 (0717) 422145 Senin-Jumat: 07.30 - 16.00 WIB
Link Penting UBB

Artikel UBB

Universitas Bangka Belitung's Article
2008-12-30 WIB


Mempersiapkan Lahan Abadi Untuk Pertanian


Ditulis Oleh : Admin

Pertanian Indonesia di tahun 2006 masih tetap menghadapi persoalan-persoalan klasik. Kelangkaan pupuk menjelang masa tanam, kekeringan di saat kemarau, kebanjiran di musim hujan, harga anjlok ketika panen, mencekik saat paceklik, serta konversi lahan yang kian tak terbendung.

Jika kelangkaan pupuk, kekeringan, banjir, hama, dan penyakit dampaknya terhadap produksi pertanian, terutama padi, tidak bersifat permanen, dampak berkurangnya lahan pertanian karena konversi akan bersifat permanen terhadap turunnya produksi. Sekali lahan pertanian, terutama sawah, beralih fungsi, mustahil kembali lagi menjadi sawah.

Kekhawatiran terhadap kelangkaan pupuk dan anjloknya harga beras selalu disuarakan dengan lantang oleh para wakil rakyat karena khawatir produksi pangan nasional merosot. Anehnya, soal konversi lahan nyaris tidak pernah mendapat perhatian. Jangankan suara lantang, yang sayup-sayup pun hampir tak terdengar. Padahal, dampaknya jelas dan permanen terhadap produksi pangan nasional.

Kebutuhan pangan terus naik dari tahun ke tahun. Tahun 2020 diperkirakan perlu 9,3 juta hektar sawah untuk mencukupi kebutuhan beras nasional. Saat ini luas sawah hanya 8,11 juta hektar, 45 persen di antaranya ada di Jawa dan Bali. Dari tahun ke tahun bukan perluasan yang terjadi, tetapi justru luas sawah kian menyusut (tabel: Neraca Lahan Sawah di Indonesia).


Kerugian investasi

Konversi lahan tidak hanya berpengaruh terhadap produksi pangan, tetapi juga hilangnya investasi untuk membangun irigasi dan prasarana lainnya. Menurut Sumaryanto dan Tahlim Sudaryanto dari Pusat Studi Sosial Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB), nilai investasi per hektar sawah tahun 2000 lebih dari Rp 25 juta dan tahun 2004 mencapai Rp 42 juta per hektar.

Jika biaya pemeliharaan sistem irigasi dan pengembangan kelembagaan pendukung juga diperhitungkan, investasi untuk mengembangkan ekosistem sawah akan mencapai lima kali lipat dari angka tersebut.

Belum lagi kerugian ekologis bagi sawah di sekitarnya akibat alih fungsi sebagian lahan, antara lain hilangnya hamparan efektif untuk menampung kelebihan air limpasan yang bisa membantu mengurangi banjir. Kerugian itu masih bertambah dengan hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan bagi petani penggarap, buruh tani, penggilingan padi, dan sektor- sektor pedesaan lainnya. Sektor pertanian, terutama padi, merupakan sektor yang paling banyak menyediakan lapangan kerja.

Pendapatan kotor usaha tani padi sekitar Rp 5,2 juta per hektar per musim. Sementara biaya produksi per hektar per musim Rp 2,3 juta, sekitar 45 persen untuk ongkos tenaga kerja. Dengan alih fungsi, berarti petani kehilangan peluang pendapatan Rp 2,9 juta per hektar per musim, dan buruh tani kehilangan Rp 1,05 juta per musim.

Bagi pemilik lahan, mengonversi lahan pertanian untuk kepentingan nonpertanian saat ini memang lebih menguntungkan. Secara ekonomis, lahan pertanian, terutama sawah, harga jualnya tinggi karena biasanya berada di lokasi yang berkembang.

Riman (65), misalnya, rela mengubah kebunnya menjadi petak-petak kontrakan daripada tetap menanam palawija. Alasannya, dengan tiga petak rumah yang dibangun di atas tanah 150 meter persegi, setiap bulan dia memperoleh dari kontrakan rumah sekitar Rp 750.000.

Sementara kalau saya tanami mentimun, paling dapat sekarung, harganya cuma Rp 15.000 sampai Rp 20.000. Itu pun masih harus menunggu 40 hari dan harus mikir beli urea, bibit, dan tenaga yang dikeluarkan, ujar warga Kampung Pondok Serut, Desa Pakujaya-Serpong, Tangerang, yang lahannya terkepung tembok real estate itu.

Namun, bagi petani penggarap dan buruh tani, konversi lahan menjadi bencana karena mereka tidak serta-merta bisa beralih pekerjaan. Mereka terjebak pada kian sempitnya kesempatan kerja. Bakal muncul masalah sosial yang pelik.

Penelitian Sumaryanto dan Tahlim Sudaryanto memperkuat hal ini, yaitu jika di suatu lokasi terjadi konversi lahan pertanian, segera lahan-lahan di sekitarnya akan terkonversi dan sifatnya cenderung progresif. Karena, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan dan industri, akses ke lokasi tersebut akan semakin baik. Ini mendorong naiknya permintaan lahan oleh investor lain, atau spekulan tanah, sehingga harganya semakin tinggi, membuat petani pemilik lahan lain menjual lahannya.


Paradigma Baru Pertanian

Menurut Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan Pascasarjana IPB MT Felix Sitorus, alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan nonpertanian terkait paradigma pertanahan penguasa. Di era kolonialisme Inggris (1811-1816), paradigmanya adalah tanah untuk negara, semua tanah milik raja atau pemerintah, petani wajib membayar pajak dua per lima dari hasil tanah garapannya. Masa tanam paksa (1830-1870), paradigmanya tetap tanah untuk negara, pemerintah menjadi pemilik tanah, dan kepala desa meminjam tanah itu, selanjutnya dipinjamkan kepada petani. Petani tidak membayar pajak, tetapi seperlima dari tanahnya harus ditanami komoditas tertentu yang hasilnya diserahkan kepada Pemerintah Belanda. Paradigma bergeser pada era kapitalisme kolonialisme (1870-1900), yaitu tanah untuk negara dan swasta, pemerintah memberikan hak erpacht 75 tahun kepada pemodal.

Di era pemerintahan Presiden Soekarno, paradigma diubah menjadi tanah untuk rakyat dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, yang diikuti landreform (1963-1965) soal penetapan luas tanah pertanian. Tetapi hanya sebentar, belum terimplementasi dengan baik. Pemerintahan Soeharto mengembalikan paradigma, yaitu tanah untuk negara dan swasta, dan itu berlangsung sampai kini, apalagi adanya Perpres No 36/2005, kata Felix.

Krisis paradigma pertanahan yang berlangsung lama di Indonesia terlihat setidaknya dari banyaknya kasus sengketa tanah antara rakyat dan pemerintah atau pengusaha. Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2002 mencatat ada 1.920 kasus sengketa tanah, yang melibatkan 1.284.557 keluarga dengan luas lahan 10,512 juta hektar.

Oleh karena itu, sebelum ditetapkan keputusan menyediakan lahan abadi pertanian seluas 15 juta hektar, harus jelas dulu itu untuk siapa, apakah tanah pertanian abadi untuk negara, swasta, atau petani. Selama paradigmanya masih tanah untuk negara dan swasta, konversi lahan masih tetap akan terjadi. Sementara bagi petani, bertani bukan sekadar untuk alasan ekonomi, tetapi bagian dari pandangan hidupnya, ujar Felix.

Setidaknya telah ada sembilan peraturan, mulai dari keputusan presiden, peraturan Menteri Dalam Negeri, peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, hingga surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, yang mengendalikan konversi lahan pertanian ke nonpertanian.

Semua itu tidak efektif menghentikan konversi. Persoalan ini tidak cukup hanya dihadapi dengan peraturan perundang-undangan karena masalahnya bukan hanya persoalan kebutuhan sektor lain akan lahan, tetapi menyangkut kesejahteraan petani, kepentingan keuangan pemerintah daerah, para pengejar rente, serta kebijakan dasar perekonomian yang ingin dibangun.

Diperlukan komitmen yang kuat untuk mencegah terjadinya konversi lahan pertanian, yang diwujudkan pada visi baru dalam kebijakan yang dilaksanakan. Keberpihakan pada kesejahteraan petani, kepentingan menjaga ketahanan pangan nasional, serta menjaga kelestarian lingkungan harus dinyatakan dengan jelas.

Menjadikan sektor pertanian sebagai lapangan usaha yang menarik dan bergengsi secara alami dapat mencegah terjadinya konversi lahan. Jika konversi terus terjadi tanpa terkendali, hal itu tidak saja melahirkan persoalan ketahanan pangan, tetapi juga lingkungan dan ketenagakerjaan.


Diambil dari : KOMPAS-Bisnis dan Keuangan- "Akutnya Konversi Lahan Pertanian"


Source : https://boskhamim.wordpress.com


UBB Perspectives

Juga Untuk Periode Berikut

Untuk Periode Berikut

Stereotipe Pendidikan Feminis

Urgensi Perlindungan Hukum Dan Peran Pemerintah Dalam Menangani Pekerja Anak Di Sektor Pertambangan Timah

Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat Asal Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) yang Berpotensi Sebagai Probiotik

Pemanfaatan Biomikri dalam Perlindungan Lingkungan: Mengambil Inspirasi dari Alam Untuk Solusi Berkelanjutan

FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK

MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN

Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung

Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban

Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa

Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung

Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial

Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas

Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana

Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?

Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?

PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE

UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?

Membangun Kepercayaan dan Kesadaran Masyarakat Dalam Membayar Pajak Melalui Peningkatan Kualitas Pelayanan Serta Transparansi Alokasi Pajak

Peran Generasi Z di Pemilu 2024

Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi

Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung

Peran Pemerintah Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Protein Hewani Melalui Pemanfaatan Probiotik dalam Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit (Siska)

TIMAH “BERPERI”

Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?

Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong

Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental

Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia

Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK

HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?

Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?

Jalan Ketiga bagi Sarjana

Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum

SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM

Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi

Merebut Hati Gen Z

Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru

Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi

PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)

Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan

PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA

Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi

Xerosere* Bangka dan UBB

Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan

SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?

RELASI MAHA ESA DAN MAHASISWA (Refleksi terhadap Pengantar Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum)

KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA

Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus

Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai

Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi

Hybrid Learning dan Skenario Terbaik

NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN

Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu

PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN

Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi

Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital

Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB

TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA

TATAP MUKA

Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai

MENJAGA(L) LINGKUNGAN HIDUP

STOP KORUPSI !

ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)

KARAKTER SEPERADIK

SELAMAT BEKERJA !!!

ILLEGAL MINING

Pers dan Pesta Demokrasi

PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

GENERASI (ANTI) KORUPSI

KUDETA HUKUM

Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit

NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU

Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???

Memproduksi Kejahatan

Potret Ekonomi Babel

Dorong Kriminogen

Prinsip Pengelolaan SDA

Prostitusi Online

Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers

JUAL BELI BERITA

POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN

Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka

Budidaya Ikan Hias Laut

Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu

KEPUASAN HUKUM

JANGAN SETOR KE APARAT

JAKSA TIPIKOR SEMANGAT TINGGI

Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka

GRAND DESIGN KEPENDUDUKAN (Refleksi Hari Penduduk Dunia)

Berebut Kursi Walikota