+62 (0717) 422145 Senin-Jumat: 07.30 - 16.00 WIB
Link Penting UBB

Artikel UBB

Universitas Bangka Belitung's Article
10 Oktober 2011 | 14:15:02 WIB


Wajah Baru Politik Tionghoa?


Ditulis Oleh : Ibrahim

TiongHoa dan politik secara historis tidak bisa dipisahkan karena sebagai etnis diasporik, etnis ini dituntut untuk selalu beradaptasi dengan penguasa setiap rezim. Setiap penguasa punya derajat perlakuan yang berbeda-beda dan membawa konsekuensi pada corak politik Tionghoa.

Meski demikian, ketersinggungan dengan dunia politik juga dipengaruhi persoalan orientasi politik yang muncul dari internal etnis ini. Faktor sejarah migrasi pada masa kolonialisme dan derajat penetrasi etnis Tionghoa dengan kebudayaan lokal juga memberikan pengaruh yang besar bagi ketersinggungan etnis ini dengan dunia politik.

Pada masa kolonial, identitas Tionghoa dapat diidentifikasi dengan dua term: totok dan peranakan. Selain riwayat kelahiran, faktor derajat penyesuaian dengan kebudayaan lokal juga menjadi faktor pembeda antara totok dan peranakan. Totok didefinisikan dalam relasinya dengan sejarah kelahiran mereka di negara asal dan tingkat orientasi budaya serta politiknya terhadap negara leluhur mereka. Sementara peranakan mengacu pada kelahiran diluar negara Cina dan derajat penyesuaian diri dengan budaya lokal, termasuk bahasa.

Dikotomi totok dan peranakan pada akhirnya juga cenderung memberikan warna politik yang berbeda. Totok misalnya cenderung mendukung nasionalisme Cina, sementara peranakan, sekalipun tetap ada yang berorientasi Cina, pada umumnya mendukung kekawulaan Belanda atau nasionalisme Indonesia.

Jika pada masa kolonial orientasi politik etnis ini terbagi dalam tiga corak, maka setelah Indonesia merdeka sikap mereka terpecah dalam beberapa kelompok, yakni integrasionis, asimilasionis dan cukong. Masing-masing kelompok ini menempuh cara politik yang berbeda-beda dalam mencapai tujuannya. Ketika Indonesia memasuki masa reformasi, corak aktivisme politik menjadi fenomena baru. Dua cara yang dipakai oleh etnis ini adalah gerakan tuntutan untuk mendapatkan hak-hak konstitusional dan keterlibatan dalam berbagai kandidasi-kandisasi pemilu. Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, keterlibatan Tionghoa dalam berbagai kandisasi terlihat meningkat sangat signifikan.

Dalam perkembangan politik mutakhir, definisi identitas Tionghoa yang mengacu pada totok dan peranakan tentu tidak lagi relevan. Pencarian identitas diluar pemilahan tersebut menjadi penting untuk ditelusuri. Berkaitan dengan orientasi dan strategi politik, perkembangan mutakhir memungkinkan terjadinya reorientasi politik etnis ini ke dalam bentuk lama atau jsutru ke dalam bentuk yang sama sekali baru.

Jika melihat variasi kemunculan organisasi Tionghoa sejak reformasi, memang tidak bisa ditampik bahwa terjadi heterogenitas dalam tubuh Tionghoa itu sendiri. Namun basis-basis organisasi ini yang lahir dari solidaritas etnisitas dan kolektivitas kebudayaan memunculkan kekhawatiran mengenai peningkatan ekskalasi identitas Tionghoa. Sekalipun Dawis (2010) mengatakan bahwa kemunculan organisasi-organisasi berbasis solidaritas dan warisan budaya kolektif tersebut pada dasarnya mengutamakan kepentingan masyarakat dan bangsa Indonesia, namun potensi pengalihan jejaring menjadi kekuatan politik sangat mungkin terjadi.

Studi Sarumpaet (2009) mengenai politik Tionghoa di kota Medan menampakan tanda-tanda adanya pergerakan baru orientasi politik Tionghoa yang tidak sekedar aktivisme melalui tuntutan hak-hak konstitusional dan terjun ke arena politik. Orientasi baru yang mengiringi partisipasi politik Tionghoa dapat menjadi babak ulang dari orientasi-orientasi sebelumnya. Menurut Sarumpaet, politik Tionghoa di kota Medan menampakkan situasi reclaiming politik seperti yang pernah muncul di masa Orde lama.

Studi Sarumpaet juga menemukan fenomena yang menarik berkaitan dengan jejaring ekonomi yang selama ini memang menjadi citra Tionghoa. Tujuan etnis Tionghoa di kota Medan untuk berpartisipasi dalam dunia politik electoral menurut studi ini adalah karena kepentingan reproduksi benefit pada level ekonomi dan politik. Secara politis, partisipasi Tionghoa bertujuan untuk mendorong perubahan aturan-aturan yang dianggap diskriminatif, sementara secara ekonomi keterlibatan politik mereka dimaksudkan sebagai alat control berbagai kebijakan dari dekat. Partisipasi ini berpotensi membuka kembali politik perkoncoan seperti yang pernah berkembang pada rezim Orde Baru.

Jejaring ekonomi masyarakat Tionghoa yang demikian menurut Setyaningrum (2004) tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah migrasi mereka ke berbagai Negara. Pola migrasi mereka antara lain adalah pola kuli, pola pedagang, pola perantau, dan pola migrasi secara keturunan.

Pola diaspora Tionghoa inilah yang mempengaruhi transnasionalisme Tionghoa di berbagai belahan bumi yang ditopang oleh beberapa aspek. Pertama strategi fleksibel yang dikembangkan oleh para kapitalis Tionghoa dalam memperluas dan mengambil manfaat dari jejaring kekerabatan tersebut. kedua adalah kecenderungan rezim pemerintahan tempat diaspora Tionghoa yang mengambil manfaat dari jejaring Tionghoa dan menawarkan posisi-posisi menarik bagi etnis Tionghoa. Adapun elemen-elemen transnasionalisme Tionghoa adalah kekeluargaan sebagai ikatan paternal, saling membangun jalur, etika konfusianisme, dan pada akhirnya membentuk jejaring kekerabatan Tionghoa yang kuat (Setyaningrum, 2004;lihat juga Rahoyo, 2010).

Jika demikian, maka seperti yang dikatakan oleh Budiman (2005) Tionghoa masih berada dalam situasi transisi yang prosesnya tidak sederhana dan belum dapat diprediksi. Orientasi politik Tionghoa menyimpan potensi mengalami reorientasi pada corak tertentu pada konteks Indonesia mutakhir. Kehawatiran Lan (2010:13-15) bahwa berbagai organisasi Tionghoa yang muncul sesudah reformasi tidak dibarengi dengan konsep jelas apakah, mengarah pada integrasionis, asimilasionis, atau multikulturalis menyebabkan Tionghoa dalam wajah baru Indonesia masih penuh tanda tanya.

Di tengah perkembangan demokrasi politik Indonesia dewasa ini, kita sebenarnya berharap banyak partisipasi politik etnis Tionghoa dapat memberikan warna baru dalam proses pencerahan dan pendidikan politik. Mereka memiliki kemampuan financial dan intelektual yang relatif baik dengan harapan dapat memberi karakter kuat dalam visi baru reformasi politik. Namun alih-alih kita berharap partisipasi mereka dapat berkontribusi positif, sepanjang politisi yang mengaku pribumi juga masih kerap mempertontonkan pragmatisme dan oportunisme, maka jangan berharap lebih. Dan jelas bahwa reformasi politik tidak boleh dipahami sebagai pekerjaan primordial dan sentimental.

Opini Bangka Pos, Senin (10/10)




Penulis : Ibrahim
Dosen Fisip UBB





UBB Perspectives

Juga Untuk Periode Berikut

Untuk Periode Berikut

Stereotipe Pendidikan Feminis

Urgensi Perlindungan Hukum Dan Peran Pemerintah Dalam Menangani Pekerja Anak Di Sektor Pertambangan Timah

Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat Asal Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) yang Berpotensi Sebagai Probiotik

Pemanfaatan Biomikri dalam Perlindungan Lingkungan: Mengambil Inspirasi dari Alam Untuk Solusi Berkelanjutan

FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK

MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN

Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung

Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban

Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa

Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung

Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial

Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas

Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana

Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?

Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?

PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE

UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?

Membangun Kepercayaan dan Kesadaran Masyarakat Dalam Membayar Pajak Melalui Peningkatan Kualitas Pelayanan Serta Transparansi Alokasi Pajak

Peran Generasi Z di Pemilu 2024

Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi

Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung

Peran Pemerintah Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Protein Hewani Melalui Pemanfaatan Probiotik dalam Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit (Siska)

TIMAH “BERPERI”

Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?

Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong

Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental

Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia

Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK

HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?

Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?

Jalan Ketiga bagi Sarjana

Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum

SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM

Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi

Merebut Hati Gen Z

Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru

Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi

PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)

Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan

PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA

Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi

Xerosere* Bangka dan UBB

Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan

SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?

RELASI MAHA ESA DAN MAHASISWA (Refleksi terhadap Pengantar Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum)

KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA

Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus

Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai

Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi

Hybrid Learning dan Skenario Terbaik

NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN

Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu

PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN

Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi

Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital

Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB

TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA

TATAP MUKA

Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai

MENJAGA(L) LINGKUNGAN HIDUP

STOP KORUPSI !

ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)

KARAKTER SEPERADIK

SELAMAT BEKERJA !!!

ILLEGAL MINING

Pers dan Pesta Demokrasi

PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

GENERASI (ANTI) KORUPSI

KUDETA HUKUM

Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit

NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU

Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???

Memproduksi Kejahatan

Potret Ekonomi Babel

Dorong Kriminogen

Prinsip Pengelolaan SDA

Prostitusi Online

Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers

JUAL BELI BERITA

POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN

Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka

Budidaya Ikan Hias Laut

Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu

KEPUASAN HUKUM

JANGAN SETOR KE APARAT

JAKSA TIPIKOR SEMANGAT TINGGI

Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka

GRAND DESIGN KEPENDUDUKAN (Refleksi Hari Penduduk Dunia)

Berebut Kursi Walikota