Diktum Alm. Satjipto Rahardjo diatas mengingatkan kita kembali bila hukum diterima sebagai sebuah skema yang f" />
Diktum Alm. Satjipto Rahardjo diatas mengingatkan kita kembali bila hukum diterima sebagai sebuah skema yang f" />
Diktum Alm. Satjipto Rahardjo diatas mengingatkan kita kembali bila hukum diterima sebagai sebuah skema yang f" />
Diktum Alm. Satjipto Rahardjo diatas mengingatkan kita kembali bila hukum diterima sebagai sebuah skema yang f" />
Diktum Alm. Satjipto Rahardjo diatas mengingatkan kita kembali bila hukum diterima sebagai sebuah skema yang f" />
+62 (0717) 422145 Senin-Jumat: 07.30 - 16.00 WIB
Link Penting UBB

Artikel UBB

Universitas Bangka Belitung's Article
09 Januari 2012 | 09:02:54 WIB


Monumen Hukum Sandal Jepit


Ditulis Oleh : Faisal, SH., MH.

"Hukum merupakan proyek yang tak pernah selesai, ia akan terus mengalami pendewasaan di tangan rakyatnya, di sisi lain ia juga mengemban misi mulia untuk menghantarkan keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi rakyatnya.

Diktum Alm. Satjipto Rahardjo diatas mengingatkan kita kembali bila hukum diterima sebagai sebuah skema yang final/selesai, maka hukum hanya dapat dilihat pada aspek otoritas dan legalitas semata.

Upaya untuk merobohkan cara berfikir yang demikian tentu bukan hal mudah. Sebab, sejak kelahirannya hukum mengemban fungsi yang dikotomis, yaitu keadilan dan kepastian. Tentu menghadirkan keduanya memiliki cara penyajian yang berbeda. Bila keadilan menjadi tujuan akhir dalam berhukum, maka optik perilaku akan menjadi fundamental cara berhukum.

Rasa nikmat keadilan terasa sempurna oleh tuntunan normativitas nurani. Menjalankan hukum bukan semata soal logika legalisme undang-undang, melainkan perhitungan yang matang terhadap nilai kemanusiaan. Otoritas nurani yang memiliki rasa empati, jujur, toleran, dan berani akan menerangi kekalutan hukum yang gelap mata pada setiap peristiwa hukum yang dihadapi.

Kasus AAL bocah dibawah umur merupakan monumen hukum yang penting untuk direnungkan oleh bangsa ini, terlebih lagi para pemangku hukum.
Pengadilan Negeri Palu dengan tegas menyatakan bersalah kepada AAL atas tuduhan pencurian sandal, walaupun pada akhirnya hakim menyerahkan AAL kepada orangtuanya untuk dibina.

Hukum semakin kehilangan kewibawaan sebab ia dihadapkan dengan perkara sepele yaitu sepasang sandal. Hukum terkesan mati rasa, sebab ia tak mampu lagi memilih mana rambu perkara pelik dan sepele.

Bila ada keinginan kuat untuk menjadikan hukum sebagai panglima, tentu masih luas medan tempur sang panglima. Misal, medan korupsi dan kejahatan asasi membentang dipenjuru tanah air. Jika hal itu diseriusi, mungkin hukum sudah tak punya waktu untuk berhadapan dengan perkara serupa kasus AAL.

Cara pandang yang berlebihan pada asas kepastian hukum menjadi pemicu atas setiap kasus serupa. Seakan, hukum dan undang-undang itu berdiri sendiri pada sudut ruang kebenarannya.

Hukum menjadi barang yang absolut dan otonom, tanpa mau bertegur sapa dengan realitas konflik yang dihadapi. Percayalah, bila hal demikian selalu dipertahankan, tak ayal kita tidak dapat memperoleh gambaran utuh tentang keadilan hukum masyarakat yang sebenarnya. Biarkan kesadaran hukum masyarakat berbicara, tanpa perlu marah dengan arogansi legal formal. Bukannya, hukum akan selalu mengalir mengikuti dinamika sosial. Justru disitulah hukum akan mengalami pergulatan dengan perilaku manusia, tanpa ada celah kata sempurna. Sebab, jika hukum merasa sempurna sejak lahir, tentu hukum semacam itu telah kehilangan ruh sosialnya.

Tidak Sejalan


Terlebih lagi, kasus AAL merupakan bentuk kolonialisasi lanjut. Betapa tidak, AAL dihadapkan dengan Pasal 362 KUHP yang tak sama sekali memiliki "pengecualian". Walaupun kita tahu, undang-undang perlindungan anak memberikan perlakuan khusus terhadap anak dibawah umur yang terdapat melakukan pidana.

Dibalik itu semua, menurut hemat saya terdapat dua sisi yang berbeda. Pasal 362 KUHP merupakan produk ajaran klasik yang berorientasi pada "perbuatan" si pelaku kejahatan, sementara undang-undang perlindungan anak berkata lain, yaitu lebih memperbaiki "orang"/si pelaku agar dapat diperbaiki sifat jahatnya.

Ajaran klasik mengenai pemidanaan telah tumbang pada abad ke-18. Dimana teori pembalasan menjadi penopang ajaran klasik yang memberikan ganjaran setimpal terhadap perbuatan jahat dengan maksud penjeraan. Tak dapat dipungkiri bahwa KUHP peninggalan Belanda itu sarat dengan ajaran klasik dan telah usang. Sementara undang-undang perlindungan anak mengarah pada perbaikan sifat jahat si pelaku.

Hal itu menunjukkan sistem pemidanaan kita masih berjalan di dua rel yang berbeda. Pasal 362 dasar vonis bersalah terhadap AAL, sementara tindakan pembinaan terhadap AAL yang diserahkan kepada orangtuanya merujuk pada undang-undang perlindungan anak.

Sulit untuk sampai pada tujuan yang sama. Sebab jalan pemikiran kedua undang-undang itu berbeda. Satu sisi menghakimi perbuatan (KUHP), pada hal yang lain pada perbaikan terhadap si pelaku/orang (UU perlindungan anak).

Katup Penyelamat


Akhirnya datang waktu yang tepat untuk memikirkan katup penyelamat guna menyumbang upaya keluar dari keterpurukan sistem hukum pidana saat ini.

Pertama, kiranya penting untuk disadari bahwa kita akan selalu berhadapan dengan hukum yang memiliki keterbatasan. Sikap percaya terhadap watak legalisme hukum secara berlebihan justru akan membuat jarak antara hukum dengan realitas sosialnya. Hukum harus terus didorong untuk bergandengan tangan dengan kekuatan sosial agar hukum dapat menunaikan tugasnya. Sehingga hukum tidak dimonopoli oleh tafsir legalisme undang-undang semata, melainkan juga berpusat pada perilaku normativitas nurani.

Kedua, jika kiranya sulit untuk keluar dari paradigma legalitas-formal, maka jalan keluar ada pada proses legislasi undang-undang. Tak ada pilihan selain untuk segera mengesahkan RUU KUHP yang sudah cukup lama mandeg. Jika kasus AAL terjadi setelah RUU KUHP telah disahkan, maka berdasarkan Pasal 114 demi memperhatikan masa depan anak pemeriksaan di pengadilan dapat dihentikan. Terlebih lagi dalam ketentuan RUU KUHP terdapat pertimbangan subsosialitas yaitu pemaafan/pengampuan oleh hakim (rechterlijkpardon) terhadap terdakwa. Artinya jika suatu perbuatan merupakan delik (perbuatan pidana), tetapi secara sosial sangat kecil dampaknya ke pada masyarakat luas, maka hakim tidaklah perlu menjatuhkan pidana.

Setidaknya katup penyelamat diatas merupakan dua hal yang mengkerucut pada optik perilaku (nurani) dan peraturan (RUU KUHP). Bila keduanya bisa berjalan seirama barangkali kita tidak akan larut dalam perdebatan kasus semacam AAL. Semoga rasa keadilan sandal jepit yang menimpa AAL menjadi monumen hukum yang melelahkan. Tentu sambil berharap berubahnya paradigma sistem pidana Indonesia meninggalkan produk kolonialisasi lanjut.




Penulis : Faisal, SH. MH.


Dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung dan Penggiat Studi Hukum Progresif




UBB Perspectives

Juga Untuk Periode Berikut

Untuk Periode Berikut

Stereotipe Pendidikan Feminis

Urgensi Perlindungan Hukum Dan Peran Pemerintah Dalam Menangani Pekerja Anak Di Sektor Pertambangan Timah

Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat Asal Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) yang Berpotensi Sebagai Probiotik

Pemanfaatan Biomikri dalam Perlindungan Lingkungan: Mengambil Inspirasi dari Alam Untuk Solusi Berkelanjutan

FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK

MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN

Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung

Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban

Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa

Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung

Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial

Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas

Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana

Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?

Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?

PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE

UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?

Membangun Kepercayaan dan Kesadaran Masyarakat Dalam Membayar Pajak Melalui Peningkatan Kualitas Pelayanan Serta Transparansi Alokasi Pajak

Peran Generasi Z di Pemilu 2024

Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi

Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung

Peran Pemerintah Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Protein Hewani Melalui Pemanfaatan Probiotik dalam Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit (Siska)

TIMAH “BERPERI”

Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?

Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong

Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental

Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia

Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK

HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?

Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?

Jalan Ketiga bagi Sarjana

Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum

SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM

Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi

Merebut Hati Gen Z

Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru

Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi

PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)

Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan

PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA

Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi

Xerosere* Bangka dan UBB

Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan

SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?

RELASI MAHA ESA DAN MAHASISWA (Refleksi terhadap Pengantar Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum)

KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA

Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus

Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai

Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi

Hybrid Learning dan Skenario Terbaik

NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN

Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu

PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN

Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi

Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital

Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB

TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA

TATAP MUKA

Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai

MENJAGA(L) LINGKUNGAN HIDUP

STOP KORUPSI !

ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)

KARAKTER SEPERADIK

SELAMAT BEKERJA !!!

ILLEGAL MINING

Pers dan Pesta Demokrasi

PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

GENERASI (ANTI) KORUPSI

KUDETA HUKUM

Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit

NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU

Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???

Memproduksi Kejahatan

Potret Ekonomi Babel

Dorong Kriminogen

Prinsip Pengelolaan SDA

Prostitusi Online

Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers

JUAL BELI BERITA

POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN

Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka

Budidaya Ikan Hias Laut

Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu

KEPUASAN HUKUM

JANGAN SETOR KE APARAT

JAKSA TIPIKOR SEMANGAT TINGGI

Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka

GRAND DESIGN KEPENDUDUKAN (Refleksi Hari Penduduk Dunia)

Berebut Kursi Walikota