UBB Perspective
Universitas Bangka Belitung
Artikel UBB
Universitas Bangka Belitung's Article
22 Oktober 2008 | 12:18:43 WIB
KRIMINALISASI RUU PORNOGRAFI
Ditulis Oleh : Admin
Kriminalisasi Pornografi
Satu hal yang menarik berkaitan dengan proses pengesahan RUU ini adalah ada pendapat bahwa ada RUU Pornografi ini terkesan dipaksa untuk segera disahkan. Mengapa menarik, karena pendapat tersebut menunjukkan bahwa RUU tersebut belum waktunya disahkan atau mungkin tidak perlu disahkan sama sekali. Padahal sebuah RUU yang akan segera disahkan seharusnya sudah tidak ada permasalahan lagi, khususnya berkaitan dengan masalah substansi/isinya. RUU Pornografi yang mengatur ketentuan pidana, tentunya sudah melewati tahapan kriminalisasi, yaitu sebuah tahapan dimana menetapkan sebuah perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan tindak pidana menjadi tindak pidana. Artinya, semua pasal-pasal pidana yang ada dalam RUU Pornografi tersebut penetapannya tidaklah sembarangan dirumuskan, namun sudah memenuhi syarat kriminalisasi. Begitupula dengan ketentun-ketentuan lain diluar ketentuan pidana, seperti ketentuan umum yang mengatur pengertian/definisi, dimana perumusannya mempertimbangkan aspek hukum, sosial, budaya, agama, politik dan lain-lain.
Dalam laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus tahun 1980 di Semarang, disebutkan tentang kriteria kriminalisasi dan dekriminalisasi, yaitu Pertama, apakah perbuatan itu tidak disukai/dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban; Kedua, apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasil yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan tertib hukum yang akan dicapai; Ketiga, apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya; dan Keempat, apakah perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.
Keempat hal di atas merupakan kriteria/syarat yang harus diperhatikan/dipetimbangkan apabila ingin mengkriminalisasikan sebuah perbuatan. Setiap satu pasal ketentuan pidana yang ada dalam RUU Pornografi harus memenuhi keempat kriteria tersebut. Apabila tidak, maka pasal pidana itu hanya akan menjadi pasal mandul yang tidak efektif dalam aplikasinya.
Kriteria pertama, jelas sudah terpenuhi karena pornografi merupakan perbuatan yang tidak disukai/dibenci oleh masyarakat karena merugikan secara materi bahkan sosial, serta mendatangkan korban. Beberapa kasus perkosaan dan pencabulan serta maraknya prostitusi diantaranya karena ada korelasi dengan pornografi. Disamping itu, pornografi jelas-jelas bertentangan dengan ajaran agama dan budaya ketimuran bangsa ini.
Kriteria kedua, harus dapat diperkirakan apakah dengan disahkannya RUU Pornografi nanti, betul-betul efektif dalam penerapannya sehingga menimbulkan tertib hukum. Artinya, biaya yang besar untuk penyusunan RUU tersebut, upaya pengawasan dan penegakan hukum yang akan dilakukan, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri tidaklah sia-sia.
Kriteria ketiga, dan ini sangat penting, yaitu apakah dengan adanya UU Pornografi nanti tidak menambah beban aparat penegak hukum yang sudah begitu banyak dan berat atau justru memang nyata-nyata tugas penegakan UU Pornografi nantinya tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliki aparat penegak hukum. Walaupun tugas penegakan hukum juga menjadi tanggungjawab masyarakat, namun selama ini tugas tersebut lebih banyak kita serahkan ke aparat penegak hukum, terlebih dengan tingkat kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah. Oleh karena itu, sebelum RUU Pornografi disahkan, perlu diperhitungkan sejauh mana kekuatan/kemampuan sumber daya manusia, baik kualitas maupun kuantitas dari aparat penegak hukum dan bagaimana kesiapan sarana dan prasarana yang akan digunakan dalam penegakan hukum UU Pornografi nantinya, termasuk ketersediaan peraturan pelaksananya.
Kriteria keempat, Pornografi jelas merupakan bentuk kejahatan yang dapat merusak generasi penerus bangsa dan dapat merusak sistem sosial masyarakat yang dapat menghambat proses pembangunan nasional.
Polemik Definisi Pornografi
Sejak awal RUU Pornografi diusulkan dan dibahas, sudah menimbulkan pro kontra dan polemik. Salah satunya dalam perumusan definisi pornografi. Dari kacamata agama bisa dinilai sebagai pornografi, namun dari kacamata seni belum tentu. Sepertinya sulit sekali untuk merumuskan definisi pornografi yang bersifat universal, yang dapat diterima semua pihak. Dalam penal policy (kebijakan hukum pidana), sebenarnya setiap perumusan dalam undang-undang tidak ada kewajiban untuk selalu membuat atau mendefinisikan setiap istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut. Termasuk istilah pornografi dalam RUU Pornografi.
Jadi mendefinisikan atau tidak mendefinisikan adalah pilihan politik dari pembuat undang-undang. Apabila sulit didefinisikan atau setelah didefinisikan justru menimbulkan polemik dan multitafsir, mungkin lebih baik jangan didefinisikan. Namun orang akan bertanya, bagaimana mungkin akan mengatur sesuatu, tetapi tidak ada kejelasan tentang apa yang diatur. Sebenarnya, apabila mengalami kesulitan dalam mendefinisikan pornografi, maka lebih baik jangan didefinisikan, tetapi cukup dengan mengatur secara eksplisit bentuk-bentuk perbuatan pornografi dalam pasal-pasal ketentuan pidananya.. Karena pasal-pasal pidana inilah yang lebih bersifat fungsional dan mengandung unsur-unsur tindak pidana yang digunakan untuk membuktikan seseorang telah melakukan tindak pidana pornografi atau tidak.. Sementara pemberian definisi pornografi dalam ketentuan umum hanya bersifat memberikan penjelasan. Hal inilah yang dilakukan oleh pembuat UU Tindak pidana korupsi, dimana tidak mendefinisikan korupsi, namun langsung mengaturnya dalam rumusan pasal ketentuan pidana.
Written By :
Dwi Haryadi, S.H.,M.H.
Dosen Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial
Universitas Bangka Belitung
UBB Perspectives
FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK
MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN
Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung
Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban
Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa
Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung
Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial
Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas
Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana
Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?
Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE
UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?
Peran Generasi Z di Pemilu 2024
Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi
Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung
Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?
Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong
Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental
Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia
Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK
HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?
Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?
Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum
SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi
Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru
Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi
PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)
Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan
PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA
Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi
Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan
SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?
KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA
Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus
Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai
Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi
Hybrid Learning dan Skenario Terbaik
NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN
Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu
PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN
Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi
Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital
Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB
TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA
Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai
ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)
PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit
NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU
Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???
Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers
POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka
Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu
Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka