+62 (0717) 422145 Senin-Jumat: 07.30 - 16.00 WIB
Link Penting UBB

Kabar UBB

Universitas Bangka Belitung
21 Juli 2008 WIB


Greenland Meleleh !


Greenland Meleleh !
Dalam sejarahnya, Greenland identik dengan sepi. Tidak banyak orang luar yang datang ke sini karena gelap bisa menyelimutinya selama berbulan-bulan di musim dingin.



Musim panas? Percuma, karena tak ada jalan yang menghubungkan pusat-pusat permukiman dengan 56 ribu penduduk di sana. Terbang adalah cara paling praktis. Illulisat, kota terbesar ketiga di pinggir laut, misalnya, lebih ramai oleh anjing penghela ketimbang manusia.



Sejarah bisa melentur. Belum pernah pendatang dan perhatian dunia internasional tercurah begitu besar terhadap pulau terbesar di dunia dengan garis pantai sepanjang keliling perut Bumi itu seperti beberapa tahun belakangan. Gara-garanya, pemanasan global yang semakin menelanjangi pulau yang termasuk provinsi otonomi Denmark itu.



Selama 10 tahun terakhir, es yang "melarikan diri" dari pulau itu dalam bentuk gletser telah meningkat dua kali lipat. Di beberapa lokasi, es yang mencair itu bisa 20 juta ton per hari--jumlah yang setara dengan kebutuhan air bersih warga Kota New York untuk setahun penuh.

Itu karena suhu musim dingin di Greenland juga terukur lebih hangat. Seperti halnya kawasan Arktik (Kutub Utara) secara umum, di pulau ini peningkatan suhu terjadi dua kali lebih cepat daripada di belahan dunia lainnya. Sejak itu, Greenland identik dengan perubahan iklim, dan ke sanalah para peneliti berbondong-bondong menghampirinya.

Mereka mempelajari dan berharap bisa memperlambat laju gletser memahat iceberg (gunungan es yang terapung-apung di laut). Para peneliti dari Amerika Serikat bahkan membawa serta armada pesawat intai tak berawak.



Pesawat-pesawat itu dilengkapi beragam kamera digital untuk terbang rendah dan memotret danau-danau di puncak lapisan es. Hasil jepretan memungkinkan para ilmuwan memonitor kedalaman danau-danau itu tanpa perlu mengirim seorang di antara mereka untuk mengumpulkan data secara manual ke gletser-gletser yang berbahaya dan belum terpetakan.



"Kami tahu gletser-gletser secara konstan memproduksi iceberg, tapi yang kami perhatikan adalah kejadiannya semakin sering saja," ujar Betsy Weatherhead, peneliti dari University of Colorado, Amerika Serikat, yang juga satu dari dua peneliti utama program Unmanned Aircraft Systems yang digelar Badan Kelautan dan Atmosfer Amerika Serikat (NOAA) di Arktik.



Profesor Konrad Steffen, Direktur Institut Kerja Sama Riset Ilmu-ilmu Lingkungan di universitas yang sama, menduga danau-danau marginal itulah yang bertanggung jawab atas meluruhnya 40-50 mil kubik es di Greenland setiap tahun. "Danau-danau itu bisa jadi jalan air mengalir ke dasar lapisan es lalu melumasi bagian itu (sehingga terbentuklah gunungan es)," dia menjelaskan.

Dulu sekali, para ilmuwan yakin lapisan es yang sangat luas dan tebal di Greenland tidak akan "menyerah" begitu mudah terhadap efek pemanasan global. Setidaknya butuh ratusan tahun sebelum mereka melihat laju gletser seperti yang sekarang terjadi.



Sebuah makalah ilmiah pada 2002 melumpuhkan keyakinan itu. Kebanyakan ilmuwan saat ini memang sepakat bahwa masih akan ada berabad-abad lagi sebelum Greenland benar-benar "telanjang" dari lapisan es. Mereka juga setuju, begitu laju es mencair itu mencapai level tertentu, siklusnya tidak akan pernah bisa kembali lagi.



Jika itu terjadi, akan semakin banyak gunungan es terapung. Jika lapisan es Greenland seluas 700 ribu mil kubik mencair seluruhnya, muka air laut Bumi akan naik sampai tujuh meter.



Tidak perlu terjadi seketika untuk menyebabkan kenestapaan global. Jika berpatokan pada laju yang sekarang saja, muka air laut akan bertambah satu meter pada 2100. Ketinggian itu sudah cukup untuk menggenangi kota-kota pantai seperti New York, Miami, dan New Orleans di Amerika Serikat.



Di negara lain, seperti Banglades, hampir 20 persen wilayahnya bisa dipastikan tak bisa dihuni lagi--puluhan juta warganya berpotensi menjadi pengungsi. Itu masih sebagian kecil karena es yang semakin jauh mengarungi samudra berarti pula invasi arus laut dingin. Eropa, misalnya, akan mengalami perubahan cuaca radikal karenanya.



Source : Tempo Interaktif

UBB Perspectives

Juga Untuk Periode Berikut

Untuk Periode Berikut

Stereotipe Pendidikan Feminis

Urgensi Perlindungan Hukum Dan Peran Pemerintah Dalam Menangani Pekerja Anak Di Sektor Pertambangan Timah

Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat Asal Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) yang Berpotensi Sebagai Probiotik

Pemanfaatan Biomikri dalam Perlindungan Lingkungan: Mengambil Inspirasi dari Alam Untuk Solusi Berkelanjutan

FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK

MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN

Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung

Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban

Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa

Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung

Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial

Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas

Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana

Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?

Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?

PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE

UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?

Membangun Kepercayaan dan Kesadaran Masyarakat Dalam Membayar Pajak Melalui Peningkatan Kualitas Pelayanan Serta Transparansi Alokasi Pajak

Peran Generasi Z di Pemilu 2024

Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi

Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung

Peran Pemerintah Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Protein Hewani Melalui Pemanfaatan Probiotik dalam Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit (Siska)

TIMAH “BERPERI”

Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?

Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong

Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental

Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia

Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK

HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?

Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?

Jalan Ketiga bagi Sarjana

Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum

SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM

Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi

Merebut Hati Gen Z

Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru

Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi

PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)

Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan

PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA

Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi

Xerosere* Bangka dan UBB

Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan

SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?

RELASI MAHA ESA DAN MAHASISWA (Refleksi terhadap Pengantar Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum)

KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA

Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus

Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai

Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi