Artikel Feature UBB
UBB's Feature
Artikel Feature UBB
Universitas Bangka Belitung's Feature
21 Juli 2008 | 04:34:45 WIB
Greenland Meleleh !
Musim panas? Percuma, karena tak ada jalan yang menghubungkan pusat-pusat permukiman dengan 56 ribu penduduk di sana. Terbang adalah cara paling praktis. Illulisat, kota terbesar ketiga di pinggir laut, misalnya, lebih ramai oleh anjing penghela ketimbang manusia.
Sejarah bisa melentur. Belum pernah pendatang dan perhatian dunia internasional tercurah begitu besar terhadap pulau terbesar di dunia dengan garis pantai sepanjang keliling perut Bumi itu seperti beberapa tahun belakangan. Gara-garanya, pemanasan global yang semakin menelanjangi pulau yang termasuk provinsi otonomi Denmark itu.
Selama 10 tahun terakhir, es yang "melarikan diri" dari pulau itu dalam bentuk gletser telah meningkat dua kali lipat. Di beberapa lokasi, es yang mencair itu bisa 20 juta ton per hari--jumlah yang setara dengan kebutuhan air bersih warga Kota New York untuk setahun penuh.
Itu karena suhu musim dingin di Greenland juga terukur lebih hangat. Seperti halnya kawasan Arktik (Kutub Utara) secara umum, di pulau ini peningkatan suhu terjadi dua kali lebih cepat daripada di belahan dunia lainnya. Sejak itu, Greenland identik dengan perubahan iklim, dan ke sanalah para peneliti berbondong-bondong menghampirinya.
Mereka mempelajari dan berharap bisa memperlambat laju gletser memahat iceberg (gunungan es yang terapung-apung di laut). Para peneliti dari Amerika Serikat bahkan membawa serta armada pesawat intai tak berawak.
Pesawat-pesawat itu dilengkapi beragam kamera digital untuk terbang rendah dan memotret danau-danau di puncak lapisan es. Hasil jepretan memungkinkan para ilmuwan memonitor kedalaman danau-danau itu tanpa perlu mengirim seorang di antara mereka untuk mengumpulkan data secara manual ke gletser-gletser yang berbahaya dan belum terpetakan.
"Kami tahu gletser-gletser secara konstan memproduksi iceberg, tapi yang kami perhatikan adalah kejadiannya semakin sering saja," ujar Betsy Weatherhead, peneliti dari University of Colorado, Amerika Serikat, yang juga satu dari dua peneliti utama program Unmanned Aircraft Systems yang digelar Badan Kelautan dan Atmosfer Amerika Serikat (NOAA) di Arktik.
Profesor Konrad Steffen, Direktur Institut Kerja Sama Riset Ilmu-ilmu Lingkungan di universitas yang sama, menduga danau-danau marginal itulah yang bertanggung jawab atas meluruhnya 40-50 mil kubik es di Greenland setiap tahun. "Danau-danau itu bisa jadi jalan air mengalir ke dasar lapisan es lalu melumasi bagian itu (sehingga terbentuklah gunungan es)," dia menjelaskan.
Dulu sekali, para ilmuwan yakin lapisan es yang sangat luas dan tebal di Greenland tidak akan "menyerah" begitu mudah terhadap efek pemanasan global. Setidaknya butuh ratusan tahun sebelum mereka melihat laju gletser seperti yang sekarang terjadi.
Sebuah makalah ilmiah pada 2002 melumpuhkan keyakinan itu. Kebanyakan ilmuwan saat ini memang sepakat bahwa masih akan ada berabad-abad lagi sebelum Greenland benar-benar "telanjang" dari lapisan es. Mereka juga setuju, begitu laju es mencair itu mencapai level tertentu, siklusnya tidak akan pernah bisa kembali lagi.
Jika itu terjadi, akan semakin banyak gunungan es terapung. Jika lapisan es Greenland seluas 700 ribu mil kubik mencair seluruhnya, muka air laut Bumi akan naik sampai tujuh meter.
Tidak perlu terjadi seketika untuk menyebabkan kenestapaan global. Jika berpatokan pada laju yang sekarang saja, muka air laut akan bertambah satu meter pada 2100. Ketinggian itu sudah cukup untuk menggenangi kota-kota pantai seperti New York, Miami, dan New Orleans di Amerika Serikat.
Di negara lain, seperti Banglades, hampir 20 persen wilayahnya bisa dipastikan tak bisa dihuni lagi--puluhan juta warganya berpotensi menjadi pengungsi. Itu masih sebagian kecil karena es yang semakin jauh mengarungi samudra berarti pula invasi arus laut dingin. Eropa, misalnya, akan mengalami perubahan cuaca radikal karenanya.
Source : Tempo Interaktif
Feature UBB
KISAH MAHASISWA UBB PENERIMA BEASISWA DJARUM FOUNDATION 2013
Pengalaman Pertama menjadi Tour Guide
Mandi Belimau, Tradisi Penyucian Diri
Rebo Kasan - Air Wafaq Tolak Bala
Mengenal Lebih Dekat, Sang Duta Baca Indonesia Andy F Noya
Berita UBB
Grand Launching SMMPTN Barat 2024, Berikan Kemudahan Memilih Tempat Tes
569 Peserta UTBK-SNBT UBB Berjuang di Sub Tes Belitung
Sebanyak 3232 Peserta Ikuti UTBK-SNBT di UBB, Panitia Terapkan Pemeriksaan Berlapis
Syindy Memilih Mundur Mengikuti UTBK-SNBT di Kampus Terpadu UBB
Hari Pertama UTBK-SNBT UBB 2024 Berjalan Lancar
Prof Delianis Minta Jaga Kelestarian Mangrove, Nilai Ekologis dan Komersialnya Sangat Tinggi
UBB Perspectives
FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK
MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN
Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung
Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban
Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa
Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung
Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial
Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas
Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana
Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?
Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE
UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?