Sukses Gelar Toboali City on Fire, Bangka Selatan Jadikan 27 Pulau Kecil Geopark dan Marine Park

Penulis: Editor | Ditulis pada 18 Desember 2017 14:12 WIB | Diupdate pada 18 Desember 2017 14:12 WIB


SOSIALISASI GEOPARK --   Prof Dr Ir Agus Hartoko MSc menjawab pertanyaan peserta sosialisasi Geopark dan Marine Park Bangka Belitung  di Balai Pertemuan Camat  Lepong di  Desa Tanjung Labu, Pulau Lepar, Jumat kemarin.

PULAU LEPAR, UBB --   Kabupaten Bangka Selatan (Basel) sangat serius  menggarap semua potensi  pariwisata di wilayahnya.  Setelah  sukses menggelar Toboali City on Fire (TCOF),  Basel kini  menetapkan pulau-pulau kecilnya  sebagai geopark (taman bumi) dan marine park (taman laut).  Melalui program ini diharapkan ekonomi masyarakat setempat   akan jauh lebih berkembang.

“Mulai dari Kota Toboali dan sekitarnya, hingga ke Pulau Pongok, kita tetapkan sebagai wisata bahari, geoparkan dan marine park.  Untuk itu,  peranserta dan dukungan dari seluruh warga masyarakat itu sangat penting dan diperlukan sekali!,” tukas     Kepala Dinas Pariwisata Bangka Selatan (Basel) Haris Setiawan dalam sosialisasi Geopark dan Marine Park di Balai Pertemuan Kecamatan Lepar Pongok (Lepong) di Desa Tanjung Labu, Jumat (14/12/2017) pagi.

Pembicara dalam sosialisasi geopark dan marine park  yang digelar Dinas Pariwisata Bangka Belitung ini   adalah Kepala Dinas Pariwisata Basel Haris Setiawan dan Prof Dr Ir Agus Hartoko MSc (Warek II Universitas Bangka Belitung, UBB) --  seorang  pakar di bidang kelautan dan perikanan.  Sosialisasi dibuka  Plt Camat Lepong Dodi Kesumah, dihadiri sekitar 300 warga.

Menurut Haris, konsep dan langkah-langkah untuk menjadikan sejumlah pulau-pulau kecil di Basel sebagai kawasan geopark dan marine park telah dipikirkan oleh Pemkab Basel. Termasuk, di dalamnya rencana dan jadwal survai yang akan dilakukan  ke beberapa lokasi,  untuk nantinya menetapkan secara definitif  kawasan geopark dan marine park.

“Dalam mengembangkan kepariwisataan di Kecamatan Lepar Pongok misalnya, kita memerlukan konsep dan melakukan survai.   Sehingga,  ke depannya  kita dengan mudah menetapkan dan mengembangkan   kawasan geopark dan marine park,” ujar Haris.

Meski  Haris belum secara rinci  menunjuk  lokasi mana  nantinya sebagai calon  kawasan geopark dan marine park,  namun dalam sosialisasi yang dihadiri Kapolsek dan Danramil Lepong itu ia sebut bahwa wilayah Toboali dan sekitarnya hingga ke Pulau Pongok,  akan dijadikan kawasan wisata bahari, geopark dan marine park.

“Memang perlu banyak kesiapan.  Termasuk pula  pentingnya  dibangun kelembagaan di tengah masyarakat.  Akan tetapi Alhamdulillah di sini (Pulau Lepar,red) sudah ada Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata), dan Pokdarkwis itu sudah bekerja,” tukas Haris.

Mengenai geopark dan marine park,  Haris meminta kepada seluruh warga masyarakat di Pulau Lepar untuk menggali, menjaga, melindungi,  dan mengidentifikasi seluruh aset budaya, flora-fauna, bebatuan,  sejarah, kelautan dan sebagainya.

“Jangan sampai ada bebatuan yang ada di pulau ini  dicorat-coret.  Bebatuan itu salah satu aset kita yang tak ternilai harganya. Turis nusantara dan asing paling suka dengan formaasi batuan alam itu. Maka harus kita jaga dan lindungi dari tangan-tangan iseng dan jahil,” tegas Haris.

Pada bagian lain sosialisasi geopark dan marine park, Haris juga minta keterlibatan dan peran  desa  dalam menyukseskan program geopark dan marine park di Basel. Katanya,  dana desa mencapai Rp 1,5 miliar per desa, beberapa persen di antaranya dapat digunakan untuk memelihara, melindungi dan mencatat komponen-komponen pendukung geopark dan marine park yang ada di desa.   

Jaga Budaya, Flora dan Fauna Endemik

Sementara itu Prof Dr Ir Agus Hartoko MSc dalam sosialisasi geopark dan marine park meminta kepada warga untuk menjaga dan mengembangkan  seni musik, tari, kerajinan  dan  budaya (benda dan tak benda)  lainnya  yang hidup di tengah masyarakat, seperti permainan dambus dan  ritual Muang Jung yang rutin digelar Suku Laut.

“Demikian pula flora (tumbuhan) dan fauna (hewan)  endemik di Pulau Lepar dan Pongok, harus kita jaga dan lindungi.  Semua itu, baik budaya, formasi batuan,  maupun  flora dan fauna,  merupakan aset geopark dan marine park.   Dalam konteks geowisata,  semua itu bisa kita ramu menjadi paket wisata menarik dan unik,” terang Agus Hartoko.                                                                                                   

Jeruk kunci, Agus memberi contoh dapat dijadika minuman berkhasiat karena karya vitamin C. Begitu pula tanaman Keraduduk, buahnya mengandung antioksidan yang  sangat kuat (70 kali lipat) bisa diolah menjadi obat anti kangker, selai dan sirop.

“Tanaman bakau yang banyak ditemukan di sini,  bila diolah sedemikian rupa pun dapat menjadi pewarna alami untuk batik.  Batik menggunakan pewarna alami dari bakau ini harganya mencapai ratusan ribu rupiah. UBB pernah mempraktikannya  kepada warga di Tukak,” ujar Agus.

Menanggapi keluhan warga atas bau cangkang kepiting,  guru besar di bidang kelautan dan perikanan itu  menjelaskan dari olahan cangkang kepiting dapat diperoleh chitosan --  bahan anti bakteri pembusuk alami.

“Harga chitosan lumayan tinggi.  Di Amerika, chitosan digunakan pada baju tentara,  karena ada anti bakteri alami tak bau-bau meski dipakai berminggu-minggu,” kata Agus Hartoko.

Menurut Agus banyak di antara  warga dan nelayan yang tidak mengetahui khasiat yang terdapat di dalam ikan Jebung.  Padahal ikan itu dicari untuk dikonsumsi oleh kalangan berduit.  Pasalnya  pada gelembung ikan Jebung  terdapat kolagen (zat pengencang kulit)  yang membuat pengonsumsinya awet muda.

“Ikan Jebung punya nilai jual tinggi.  Di sini ‘kan harga per kilogramnya Rp 20.000, bisa dijual pada harga Rp 100.000 per kilo.  Karena perut Jebung mengandung kolagen, zat pengencang kulit,” tukas Agus Hartoko.

Pada bagian lain penjelasannya, Agus juga meminta warga menjaga dan merawat  rumah vernakular (tempat tinggal) Melayu di Pulau Lepar, serta tanaman khas seperti angrek.  Rumah vernakular Melayu --  umumnya berbentuk  panggung -- dan rumah jenis lainnya, dapat dijadikan sebagai homestay (rumah inap) untuk wisatawan yang datang ke pulau ini.

“Tanaman anggrek langka yang ada di pulau harus kita lindungi melalui peraturan desa.  Perlu diketahui bahwa wisatawan suka dengan sesuatu yang unik dan langka!,” ujar Agus Hartoko.

Pulau Lepar merupakan satu dari 27 pulau-pulau kecil yang berada di wilayah administratif Kabupaten Bangka Selatan (Basel).  Pulau ini terletak pada 20 57’00’’ LS- 106048’36’’ BT,   dengan  luas 169.313 km2  dan topografi  berbentuk datar dan berbukit-bukit.

Pulau Lepar juga tercatat sebagai satu dari lima pulau (dari 27 pulau seluruhnya)  yang berpenghuni. Ke lima pulau itu adalah Pulau Lepar, Pulau Panjang, Pulau Tinggim Pulau Kelapan dan Pulau Pongok.

Penduduk  di Pulau Lepar lebih dari 6.603  jiwa.  Sebagian besar mengantungkan hidup pada laut, baik sebagai nelayan maupun  mengusahakan jasa angkutan laut,  seperti  speedboat pancung dan kapal angkut barang dari pulau ke pulau.  Pekerjaan lainnya sebagai petani, pedagang, PNS, pertambangan, konstruksi dan sebagainya.

Lepar merupakan bagian dari Kecamatan Lepar Pongok (Lepong).  Ibukota Lepong di Desa Tanjunglabu yang terletak di Pulau Lepar.  Di pulau ini terdapat empat desa, yaitu Tanjunglabu, Tanjung Sangkar, Kumbung dan Penutuk.   Tanjung Sangkar merupakan desa yang paling banyak penduduknya (2.139 jiwa lebih).  Sedangkan Desa Kumbung tersedikit jumlah penduduknya (511 jiwa lebih).

Sementara Desa Penutuk merupakan  desa yang paling ramai disinggahi speedboat pancung dan kapal-kapal barang.  Ini karena jaraknya yang relatif dekat dengan Pelabuhan Sadai di bagian selatan Pulau Bangka. Jarak Penutuk-Sadai sekitar 3 mil laut (5,4 kilometer), dapat ditempuh dalam  setengah jam pelayaran menggunakan speedboat pancung (Eddy Jajang Jaya Atmaja)


Topik

Kampus_Terpadu_UBB
. ayar