UBB Press / Eddy jajang, Ari Rizki
SERAHKAN SERTIFIKAT -- Dekan FE UBB Dr Reniati MSi (nomor dua dari kanan) menyerahkan sertifikat sebagai tutor atau pembicara workshop kepada Prof Dr Hj Nunuy Nur Afiah (Guru Besar Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, FEB, Unpad), didampingi Wadek 1 FE UBB Karmawan (paling kanan) dan Dr Dwi Martini AK CA, dosen FEB UI (paling kiri).
PANGKALPINANG, UBB -- Di era disrupsi teknologi pada revolusi industri keempat (i.40) saat ini dosen harus senantiasa meng-update diri. Bila ilmu pengetahu annya tidak diperbaharui, sebagai pengampu matakuliah tentu dosen itu akan ‘tertinggal’. Di lain sisi mahasiswanya tidak akan mendapatkan materi kuliah atau kurikulum kekinian yang sesuai era saat ini.
Demikian benang merah Workshop Pengembangan Kurikulum Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi UBB di Era Revolusi Industri 4.0 di Hotel Puri Indah, Pangkalpinang, Jumat (28/09/2018). Tampil sebagai pembicara Prof Dr Hj Nunuy Nur Afiah MS AK (Guru Besar Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, FEB) Unpad, dan Dr Dwi Martini AK CA (Pengurus Pusat IAI) dosen tetap UI.
“Ketika dunia berubah maka cara mengajarpun harus berubah. Sebagai pengampu, ilmu pengetahuan dosen harus luas, dan futuristik!,” tukas Dwi Martini dalam worshop yang dibuka resmi Dekan Fakultas Ekonomi (FE) UBB Dr Reniati MSi, didampingi Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FE UBB Karmawan SE MSc.
Menurut Prof Dr Nunuy, peran akuntansi di era disrupsi teknologi berubah setelah model dan proses bisnis berubah menjadi digitalisasi. Apalagi kini serba otomasi yang tidak memerlukan lagi pencatatan, dan penggunaan aplikasi yang semakin terintegrasi.
“Yang sudah tentu akuntansi di era 50 tahun lalu, tidak sama dengan saat ini, apalagi pada masa 50 tahu ke depan,” ujar Nunuy, yang menyebutkan dirinya selaku fungsionaris Kompartemen Akuntansi Pendidikan, Ikatan Akuntansi Indonsia (IAI) , telah mengirimkan perumusan kurikulum akuntansi (2014-2018) ke Kemenristek Dikti.
Nunuy dan Dwi Kartini sepakat bahwa di era revelusi industri 4.0 metode pemberian kuliah kepada mahasiswa harus berubah. Yaitu lebih banyak mahasiswa mencari, menggali dan menganalisis materi kuliah dan kasus-kasus, baik melalui literatur terkini maupun lewat praktik langsung di lapangan (sektor riil).
“Namun dosen sebagai pengampu juga harus meng-update ilmunya. Kurikulum demikian pula; harus senantiasa di update. Dosen berperan sebagai motivator, mendorong dan memberi keleluasan mahasiswa memperoleh ilmu melalui gaya atau belajar sendiri,” terang Dwi Martini.
Ia mengingatkan kurikulum bukan sekadar mata kuliah dan materi kuliah saja. Melainkan juga inheren infrastuktur dan cara dosen ketika memberikan kuliah. Dan kurikulum pun harus secara periodik dievaluasi, disesuaikan dengan kondisi pendukungnya.
Dwi Kartini dan Nunuy menganjurkan mata kuliah yang diberikan kepada mahasiswa diampu lebih dari seorang dosen. Begitu pula ketika menyusun dan menilai hasil ujian, harus berdasarkan masukkan dan evaluasi lebih dari satu dosen pengampu. Semua itu dimaksudkan untuk memeroleh hasil yang objektif.
Kedua pakar di bidang akuntansi ini menilai hasil studi seseorang mahasiswa semestinya tidak hanya ditentukan dari Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS). Poin penilaian mahasiswa harus merupakan gabungan penilaian dari awal kuliah hingga UAS.
“Saya rasa itu paling baik, sebab dapat saja terjadi mahasiswa saat UAS atau UTS sedang sakit. Kalau nilai hanya tergantung pada UTS dan UAS saja, saya pribadi menilai tidak menunjukkan kemampuan mahasiswa secara keseluruhannya,” ujar Dwi Martini.
Gen Melinial vs Baby Boomers
Sementara itu Dekan FE UBB Dr Reniati MSi menilai terjadi ‘perbedaan’ yang cukup mencolok antara dosen pengampu dengan mahasiswa terhadap ‘penguasaan’ atau ‘kedekatan’ teknologi informasi. Dosen di kampus sebagian besar berasal dari generasi ‘baby boomers’ (lahir tahun 1946 hingga 1964), sementara generasi melinial lahir pada kurun waktu tahun 1980 hingga 2000.
“Mahasiswa melineal terkategori generasi digital active dibandingkan generasi baby boomers. Untuk itu kurikulum pun harus disesuaikan dengan zaman (mahasiswa-red)-nya. Di Unpad (Universitas Padjadjaran, Bandung) sebagai contoh sudah berdiri Jurusan Bisnis Digital, meski tidak ada ketentuan untuk itu, namun Unpad menilai jurusan itu harus ada mengantisipasi kondisi sekarang ini (era disrupsi-red),” tukas Reniati.
Pada bagian lain sambutannya, Raniati -- alumni Program Doktoral Unpad -- mengemukakan, meski indeks daya saing global Indonesia sudah naik dari posisi semula 41 kepada 36, namun prestasi ini masih berada di bawah Thailand, Malaysia dan Singapura.
“Salah satu sisi lemah kita adalah ‘higher education science’ (pendidikan tinggi di bidang science) dan kesiapan teknologi yang kita miliki masih rendah. Dalam konteks itu, ke depan para dosen harus memiliki kompetensi tambahan, seperti kompetensi riset sehingga memperoleh dana penelitian dari dalam dan luar negeri,” ulas Reniati.
Disebutkan idiom berkembang pada masa lalu bahwa dosen tugasnya hanya mengajar dan cocok untuk ditekuni wanita itu kini sudah berubah total. Sekarang dosen mempunyai tugas yang banyak sekali, di antaranya penelitian dan pengabdian, bahkan untuk mengisi data kinerja dosen harus melalui aplikasi khusus. Semua itu menuntut semua dosen akrab dengan digitalisasi (Eddy Jajang J Atmaja)