Agar tak Tertinggal Jauh, Dosen di Era Revolusi Industri 4.0 Harus Perbaharui Ilmu Pengetahuannya

Penulis: Editor | Ditulis pada 28 September 2018 23:24 WIB | Diupdate pada 28 September 2018 23:24 WIB


SERAHKAN SERTIFIKAT --  Dekan FE UBB Dr Reniati MSi (nomor dua dari kanan) menyerahkan sertifikat sebagai tutor atau pembicara workshop kepada Prof Dr Hj Nunuy Nur Afiah (Guru Besar Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, FEB,  Unpad), didampingi Wadek 1 FE UBB Karmawan (paling kanan)  dan Dr Dwi Martini AK CA, dosen FEB UI (paling kiri).

PANGKALPINANG, UBB --  Di era disrupsi teknologi  pada revolusi industri keempat (i.40)  saat ini     dosen  harus senantiasa  meng-update diri.    Bila ilmu pengetahu annya tidak diperbaharui,   sebagai pengampu matakuliah  tentu  dosen itu akan ‘tertinggal’.  Di lain  sisi  mahasiswanya tidak akan mendapatkan materi kuliah  atau  kurikulum  kekinian yang sesuai  era saat ini.

Demikian benang merah Workshop Pengembangan Kurikulum Jurusan  Akuntansi Fakultas Ekonomi UBB di Era Revolusi Industri 4.0 di  Hotel Puri Indah, Pangkalpinang, Jumat (28/09/2018).  Tampil sebagai pembicara Prof Dr Hj Nunuy Nur Afiah MS AK (Guru Besar Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis,  FEB) Unpad, dan Dr Dwi Martini AK CA (Pengurus Pusat IAI) dosen tetap UI.

“Ketika dunia berubah maka cara mengajarpun harus berubah.  Sebagai pengampu,  ilmu pengetahuan dosen harus luas,  dan futuristik!,” tukas Dwi Martini dalam worshop yang dibuka resmi  Dekan  Fakultas Ekonomi (FE)  UBB Dr Reniati MSi, didampingi  Wakil Dekan I Bidang   Akademik dan Kemahasiswaan    FE UBB   Karmawan SE  MSc.

Menurut Prof Dr Nunuy, peran akuntansi  di era disrupsi teknologi  berubah setelah model dan proses bisnis  berubah menjadi digitalisasi.  Apalagi kini serba otomasi yang tidak memerlukan lagi pencatatan,  dan penggunaan aplikasi yang semakin terintegrasi.

“Yang sudah tentu akuntansi di era 50 tahun lalu, tidak sama dengan saat ini, apalagi pada masa 50 tahu ke depan,” ujar Nunuy, yang menyebutkan dirinya selaku fungsionaris Kompartemen Akuntansi Pendidikan, Ikatan Akuntansi Indonsia (IAI) , telah mengirimkan perumusan kurikulum akuntansi (2014-2018) ke Kemenristek Dikti.

Nunuy dan Dwi Kartini sepakat bahwa di era  revelusi industri 4.0  metode pemberian kuliah kepada mahasiswa harus berubah.  Yaitu lebih banyak mahasiswa mencari,  menggali dan menganalisis materi kuliah dan kasus-kasus, baik melalui literatur terkini maupun lewat praktik langsung di lapangan (sektor riil).

“Namun dosen sebagai pengampu  juga harus meng-update ilmunya.  Kurikulum demikian pula; harus senantiasa di update.  Dosen berperan sebagai motivator, mendorong dan memberi keleluasan mahasiswa memperoleh ilmu melalui  gaya atau  belajar sendiri,” terang Dwi  Martini.

Ia mengingatkan kurikulum bukan sekadar mata kuliah  dan materi kuliah saja. Melainkan juga inheren  infrastuktur dan  cara dosen ketika memberikan kuliah.  Dan kurikulum pun    harus secara periodik dievaluasi,  disesuaikan dengan  kondisi pendukungnya.

Dwi Kartini dan Nunuy menganjurkan mata kuliah yang diberikan kepada mahasiswa diampu lebih dari seorang dosen.  Begitu pula ketika menyusun dan menilai hasil ujian, harus berdasarkan masukkan dan evaluasi lebih dari satu dosen pengampu. Semua itu dimaksudkan untuk memeroleh hasil yang objektif.

Kedua pakar di bidang akuntansi ini menilai hasil studi seseorang mahasiswa semestinya tidak hanya ditentukan dari Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS).   Poin penilaian mahasiswa   harus merupakan gabungan  penilaian  dari  awal kuliah hingga UAS.

“Saya rasa itu paling baik, sebab dapat saja terjadi mahasiswa saat UAS atau UTS sedang sakit.  Kalau nilai hanya tergantung pada  UTS dan UAS saja, saya pribadi menilai tidak menunjukkan  kemampuan mahasiswa secara keseluruhannya,”  ujar  Dwi Martini.

Gen Melinial vs Baby Boomers

Sementara itu Dekan FE UBB Dr Reniati MSi menilai terjadi ‘perbedaan’ yang cukup mencolok antara dosen pengampu dengan  mahasiswa terhadap ‘penguasaan’ atau ‘kedekatan’   teknologi informasi.  Dosen di kampus sebagian besar berasal dari generasi ‘baby boomers’ (lahir tahun 1946 hingga 1964), sementara generasi melinial lahir pada  kurun waktu  tahun 1980 hingga 2000.

  “Mahasiswa melineal terkategori generasi digital active dibandingkan generasi baby boomers.   Untuk itu kurikulum pun harus disesuaikan dengan zaman (mahasiswa-red)-nya. Di Unpad (Universitas Padjadjaran, Bandung) sebagai contoh sudah berdiri Jurusan Bisnis Digital, meski tidak ada ketentuan untuk itu, namun Unpad menilai jurusan itu harus ada mengantisipasi kondisi sekarang ini (era disrupsi-red),” tukas Reniati.

Pada bagian lain sambutannya, Raniati  -- alumni Program Doktoral  Unpad --  mengemukakan, meski indeks daya saing global Indonesia sudah naik dari posisi semula 41 kepada 36, namun prestasi ini masih berada di bawah Thailand, Malaysia dan Singapura.

“Salah satu sisi lemah kita adalah ‘higher education science’  (pendidikan tinggi di bidang science) dan kesiapan teknologi yang kita miliki  masih rendah.  Dalam konteks itu,  ke depan para dosen harus memiliki kompetensi tambahan, seperti kompetensi riset sehingga memperoleh dana penelitian dari dalam dan luar negeri,” ulas Reniati.

Disebutkan idiom berkembang pada masa lalu bahwa dosen tugasnya hanya mengajar dan cocok untuk ditekuni  wanita itu kini sudah berubah total.  Sekarang dosen mempunyai tugas yang banyak sekali, di antaranya penelitian dan pengabdian, bahkan  untuk mengisi data kinerja dosen harus melalui aplikasi khusus.  Semua itu menuntut semua dosen akrab dengan digitalisasi (Eddy Jajang J Atmaja


Topik

Dr._Reniati,_S.E.,_M.Si Fakultas_Ekonomi_UBB Akuntansi_UBB
. ayar